Seri Dewi Ular-88Tara Zagita Misteri Bencana Kiamat Karya : Tara Zagita Sumber DJVU : Jisokam Editor : Jisokam Ebook oleh : Dewi KZ MISTERI BENCANA KIAMAI OlehTara Zagita Serial Dewi Ular Cctakan pertama, 2004 Gambar sampul oleh Fan Sardy Penerbit Sinar Matahari, Jakarta Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit 0o-dw-234-o0 Seorang ahli nujum meramalkan akan kedatangan kiamat dalam waktu dekat ini. Tanda-tanda kiamat pun mulai tampak. Langit terbungkus awan jingga. Awan itu beracun dan semakin rendah. akan membunuh setiap kehidupan di muka bumi. Kumala Dewi kebingungan mengatasinya. Ia minta bantuan Dewa Argon untuk menangkaldatangnya kiamat muda itu. Tapi di sisi lain, sedrang lelaki tua yang akrab dipanggil Opa mulai menyebarkan aliran sekte Umat Pilihan. Para pengikutnya dibawa kepondofe keselamatan. Tetapi mereka harus memakan sepuluh jantung manusia yang menolak menjadi pengikut Umat Pilihan itu. Opa mengaku sebagai Dewa dari Kahyangan. Ia tahu kapan saatnya bencana kiamat datang. Tetapi ajarannya yang menyesatkan membuat Dewi Ular harus segera turun tangan, mereka yang dihadapi adalah pamannya sendiri, yaitu Dewa Chonggunata, dewa penguasa binatang buas. Dapatkah Kumala mengalahkan kesaktian pamannya sendiri jika benar Opa adalah jelmaan dari Dewa Chonggunata ? Jawabannya ada dalam kisah bencana kiamat yang menteror setiap manusia ini. ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== 1 SEANDAINYA siang itu Kumala Dewi ada di kantor, seandainya ia tidak tidur siang, maka ia akan melihat perubahan cuaca yang sangat ganjil di sekitar kota Jakarta. Siang yang terang benderang tiba-tiba redup. Cahaya siang menjadi remang-remang. Matahari tertutup mendung. Bukan mendung hitam. Awan datang berarak-arak. Entah darimana asalnya. Tapi kehadiran sang awan menjadi pusat perhatian hampir semua orang, karena awan yang datang adalah awan berwarna jingga. Kuning kemerah- merahan. Wajah langit menjadi berubah. Awan jingga semakin lama semakin tebal. Maka, terpancarlah cahaya redup yang sangat ganjil. Membuat bumi terasa berubah menj adi ladang neraka. Banyak orang yang berdiri bulu kuduknya memandang langit rata terselimuti awan jingga. Banyak orang bertanya-tanya, benarkah hal itu merupakan tanda-tanda kiamat akan tiba ? "Ron, coba keluar sebentar!" seru Mak Bariah, juru masak di rumah Kumala Dewi. Jelmaan Jin Layon yang menjadi pemuda berambut kucai dan bernama Buron itu pun segera keluar. Ia menghampiri Mak Bariah yang sedang mengangkat jemuran di halaman belakang. "Kamu itu, Mak... jemuran segitu aja minta bantuan. Apa berat sih kalau jemuran cuma empat potong, kok harus minta bantuan aku?!" "Eh, mulutmu jangan mancung begitu! Aku panggil kamu bukan minta dibantu membawa jemuran ini. Aku cuma mau kasih tahu kamu,lihat ke atas tuh!" Buron memandang ke langit. Mak Bariah melanjutkan kata-katanya. "Langitnya terbakar, atau gimana itu, Ron?" Buron diam, masih memandangi langit. Ia memandang ke sisi timut, barat, utara dan selatan. "Bukan langitnya terbakar ini sih...," Buron menggumam pelan. "Habis, kenapa tuh? Biasanya langit kan biru, awannya putih. Sekarang awannya warna jeruk, tepiannya seperti besi membara." "Itu namanya wama jingga, Mak." "Aku tahu. Tapi kenapa semua awan warnanya jingga begitu? Kenapa pula bulu kudukku merinding begitu melihat awan jingga?" "Pantaslah kalau bulu kudukmu merinding, Mak," Buron masih seperti orang menggumam. Nada bicaranya datar. "Kok pantas? Memangnya ada yang aneh ya? Ada yang nggak beres pada awan jingga itu, ya?" "Naluri gaibku mengatakan begitu. Itu awan bukan sembarang awan." "Habis, awan apa itu?" Buron mengangkat tangan kanannya lurus ke atas dengan jari mengembang. la memejamkan mata sesaat. Mak Bariah merigerti maksudnya, karena ia tahu persis bahwa Buron memiliki kekuatan gaib yang dapat untuk mendeteksi adanya energi ganjil di sekelilingnya. Beberapa saat kemudian, Buron menurunkan tangannya dan berkata pada Mak Bariah dengan suara pelan sekali. "Awan itu berbahaya, Mak." Mak Bariah menyeringai was-was. "Berbahaya bagaimana?" "Entahlah. Tapi aku menangkap adanya gelombang hawa mistik yang ada dalam kumpulan awan jingga itu. Aku nggak ngerti apa jenis kekuatan mistiknya, yang jelas... mengandung bahaya buat kita yang hidup di muka bumi ini, Mak." "Duuuh, bulu kudukku semakin berdiri, Ron. Iihh...!" Mak Bariah bergidik, tubuhnya terguncang sesaat. "Aku harus melaporkan hal ini pada Kumala, Mak." "Ya udah sana. Tapi... eeh, tapi Non Mala kan masih tidur?" "Hmm, iya, ya... aku nggak berani bangunin dia, nanti marah. Kamu saja gih, Mak." "Ogah, ah! Aku nggak berani ganggu tidurnya non Mala. Lagian, aku nggak tega masa istirahatnya Non Mala harus terganggu." Buron memanggil Sandhi, sopir pribadinya Kumala yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Sandhi ikut memperhatikan awan jingga di langit. Ia juga sependapat bahwa awan itu bukan sembarang awan. Menurutnya, awan jingga punya keganjilan yang mencurigakan. Tapi ketika ia diminta untuk membangunkan Kumala, ia menolak. Tidak ada yang berani membangunkan Dewi Ular jika gadis cantik jelita itu sedang tidur, atau mengunci diri dalam kamarnya. Rata- rata mereka punya rasa kasihan jika Kumala terganggu masa istirahatnya, selebihnya rasa takut kena tegur. Teguran Kumala selalu lembut, namun bagi mereka justru menyentuh perasaan dan membuat tak enak hati, seperti menerima omelan atau kemarahan. "Kita belum tahu sejauh mana bahayanya awan itu, jadi menurutku jangan buru-buru bangunkan Kumala," kata Sandhi. "Siapa tahu awan jingga seperti itu hanya suatu keganjilan alam biasa yang terjadi sekian tahun sekali, seperti halnya gerhana matahari total." Buron sependapat dengan Sandhi. Tapi agaknya Mak Bariah kurang sependapat, karena ia sangat mencemaskan keadaan dirinya sehubungan dengan bahaya yang terkandung dalam awan jingga. Namun, ketika ia disuruh membangunkan Kumala, ia tetap menolak Akhimya ia hanya mondar-mandir gelisah dan sebentar-sebentar memandang ke arah luar, di mana alam menjadi semakin merah dan mencemaskan. Jarum jam menunjukkan pukul 14.22, hari Minggu. Tentunya bukan hanya Kumala Dewi saja yang libur kerja, tapi semua pegawai pasti mendapat hak libur, kecuali mereka yang memang mendapat tugas lembur, misalnya. Tapi seorang reporter khusus berita-berita misteri, seperti halnya Niko Madawi, ia justru memanfaatkan peluang libur untuk memburu berita, karena hari libur kali ini dianggapnya sebagai hari libur yang penuh misteri. Awan jingga itulah misteri yang ingin diliputnya sebagai tayangan mistik di salah satu sebuah station televisi swasta. Beberapa waktu yang lalu, Niko terlibat hubungan pribadi dengan Kumala Dewi. Ia jatuh cinta kepada putri bidadari dari kahyangan itu. Tetapi jalinan cintanya putus lantaran kesucianNiko sebagai perjaka direnggut oleh seorang paranormal wanita yang kini telah tiada. Niko gagal membangun mahligai cinta pertamanya, namun berhasil dalam karirnya. Ia sukses sebagai reporter berita-berita gaib, dan punya banyak penggemar, di samping ia sendiri pemuda yang cukup tampan serta kini menyandang sebutan selebritis yang tergolong cukup kaya, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "TEROR MISTERIUS"). Meski hubungan cinta patah, namun Niko dan Kumala masih menjalin hubungan yang lebih akrab lagi. Niko sudah dianggap seperti saudara sendiri, sehingga ia bebas datang menemui Kumala kapan saja, tanpa menimbulkan kecemburuan bagi kekasih Kumala saat ini, yaitu Rayo Pasca. Siang itu, Niko sengaja datang sendirian ke rumah Kumala Dewi. Ia telah ganti mobil, dulu ia memakai sedan Camry line green warnanya, sekarang ia memakai BMW terbaru warna hijau lumut. Kedatangan Niko tak lain ingin membicarakan masalah awan jingga yang menurutnya mengandung sesuatu yang misterius. Dan, ia yakin, hanya Kumala Dewi yang bisa menjelaskan apa yang terkandung dalam misteri awan jingga siang itu. "Dia masih tidur, Nik," kata Sandlhi yang sudah seperti saudara sendiri bagi Niko. "Nggak ada yang bisa bangunkan dia, ya?" "Yang bisa bangunkan dia banyak, yang berani nggak ada," jawab Buron ikut menimpali pembicaraan tersebut. Niko mendesah menahan rasa kecewa. Ia menyadari hal itu, karena ia memang sudah tahu kebiasaan orangorang dekatnya Kumala yang tidak berani membangunkan dan mengganggu kenyainanan tidur Kumala. Mereka berada di ruang tengah. Mereka juga membicarakan tentang awan jingga dan bcrbagai macam kemungkinan ilmiahnya. Pada akhimya mereka hanya bisa berkesimpulan, seperti yang dikatakan Niko. "Aku yakin, hanya Kumala Dewi yang tahu misteri awan itu." Lalu, tiba-tiba suara mereka terhenti, karena mendengar pintu kamar Kumala terbuka. Wajah cantik mendebarkan muncul dari balik pintu. Kalem. Tenang. Tapi memiliki kharisma yang mengagumkan. "Dari tadi kudengar namaku disebut-sebut terus, ada apa sih?" Mereka sama-sama kikuk. "Sejak Mak Bariah dan Buron di halamam belakang sampai Niko datang kok nggak berhenti membicarakan diriku, kenapa?" Mak Bariah menyahut lebih dulu, "Non Mala mau minum? " "Air es aja, Mak." "Baik, Non." Mak Bariah pun pergi ke dapur, Kumala duduk di sofa, sementara Niko, Buron dan Sandhi duduk di sofa seberangnya. Niko lebih dulu bicara sebelum Buron menyampaikan maksudnya . "Ada awan aneh di langit, dan kayaknya mempengaruhi kejiwaan tiap manusia, Dewi. Coba tengoklah ke luar sana." "Awan jingga," timpal Sandhi pelan. "Ya, aku tahu...," seraya menerima minuman dari Mak Bariah. "Kamu belum tahu, Dewi... karena kata Sandhi kamu dari tadi tidur, sehingga..." "Aku nggak tidur," potongnya tetap tenang. "... aku sejak tadi sibuk mempelajari datangnya awan jingga itu. Ternyata mengandung racun sangat tinggi, sangat berbahaya bagi kehidupan di bumi." "Mengandung racun?!" gumam Sandhi dan Buron hampir bersamaan. "Radiasinya belum sampai ke bumi. Tapi dia akan semakin rendah dan semakin membahayakan kita. Bisa mematikan." Rupanya dibalik ketenangan Kumala diam-diam ia menyimpan kecemasan. Tapi ia berusaha menutupi kecemasan itu agar tidak menimbulkan kepanikan bagi yang lain. Dan, setelah bicara seperti itu, samar-samar rona kecemasannya tampak di bentangan wajah cantik jelitanya. "Radiasi racun itu sebentar lagi akan mematikan burung-burung yang terbang terlalu tinggi. Coba tengok ke samping pendapa, Ron... akan ada bangkai burung yang jatuh karena terbang terlalu tinggi, dan ia menghirup racun awan jingga itu." Buron yang diperintah, tapi Sandhi yang pergi lebih dulu. Akhirnya semua pergi ke samping pendapa belakang rumah untuk membuktikan kebenaran katakata Kumala itu. Mereka mencari di rerumputan yang rapi seperti permadani itu. Ternyata tidak ada bangkai yang dimaksud. Tetapi setengah menit kemudian mereka mendengar suara benda jatuh dua kali: plok, plok.! Mata mereka memandang ke arah benda yang jatuh itu. Ternyata dua ekor burung dalam keadaan kaku tak bernyawa lagi. Keduanya jenis burung tekukur yang bulu-bulunya telah rontok dan wajahnya tampak legam. Tak salah lagi, burung-burung itu terbang dalam ketinggian terlalu hingga menghirup radiasi racun dari awan jingga sehingga mati secara sia-sia. "Kasihan...," gumam Sandhi dengan wajah tegang, membuat yang lain pun ikut berwajah tegang membayangkan racun awan jingga akan turun ke bumi, dan sudah tentu nasib maijusia nanti akan seperti kedua burung tersebut. "Jangan terlalu sering memandang ke atas," tiba- tiba suara Kumala terdengar, dan ternyata gadis itu sudah ada di belakang Niko. Tak diketahui kapan ia beijalan menghampiri mereka. Tapi dalam keyakinan Niko, pasti Kumala hadir di situ tanpa melangkahkan kakinya, melainkan menggunakan kesaktiannya sebagai anak dewa. "Cahaya jingga yang terpancar dari awan itu jika terlalu lama dipandang bisa bikin mata menjadi buta. Aku tahu kadar racun yang ada di atas sana, tapi nggak tahu siapa pemiliknya." "Pasti si Lokapura, Dewa Kegelapan, dialah pemiliknya," sahut Buron. Nadanya menggeram penuh dendam. "Bisa dia, bisa juga bukan dia," kata Kumala Dewi. "Kenapa kamu nggak cepat-cepai lakukan tindakan pencegahan?" "Aku sedang memanggil Dewa Argon untuk berkonsultasi dengannya. Sebab, tadi pun dari kamar aku sudah melakukan pencegahan, tapi kayaknya pencegahanku akan sia-sia. Racun itu dapat menembus lapisan gaib yang kugunakan untuk menangkalnya." "Kalau sampai gagal, penduduk di mukabumi ini bisa mati semua dong," ujar Sandhi dengan napas cemas. "Bukan hanya manusia, tapi semua bentuk kehidupan dapat hancur akibat keganasan racun itu " "Kiamat dong!" gumam Buron. "Seperti itulah ancaman yang ada pada diri kita saat ini" "O, ya... kalau begitu, apa yang dikatakan Opa, benar. Kiamat akan datang. Mungkin awan jingga itulah tandatandanya." "Opa siapa?" tanya Kumala kepada Niko yang tiba-tiba bicara tentang ramalan seseorang yang dipanggilnya: Opa. "Opa itu seorang paranonnal, peramal ulung, yang kutemukan beberapa hari yang lalu. Dia bilang, dalam minggu ini Kiamat. akan datang dan benar-benar terjadi. Aku nggak percaya. Tapi setelah melihat awan beracun itu, aku jadi percaya dengan ramalannya ." Niko menceritakan pertemuannya dengan seorang lelaki tua yang akrab dipanggilnya: Opa. Lelaki itu berusia sekitar 75 tahun, semua rambutnya sudah beruban rata, badannya agak jangkung, tapi masih tegap dan terkesan gagah. Niko bertemu dengan Opa dalam sebuah pameran lukisan-lukisan bernuansa mistik. Opa bukan salah satu pelukis yang mengadakan pameran tersebut, tapi salah satu pengunjung galery yang dapat menerangkan sisi gaib dari tiap lukisan. "Bapak juga seorang pelukis?" "Opa bukan pelukis, Opa nggak bisa melukis ini, Nak. Tapi Opa tahu getaran gaib yang ada pada tiap lukisan ini Pelukisnya pasti mengerjakan lukisan ini dengan bantuan tangan gaib." Sejak itulah Niko memanggil pak tua itu Opa. "Opa, kebetulan saya reporter dari sebuah acara mistik di station teve swasta, saya boleh mengetahui banyak-banyak tentang apa yang Opa ketahui? Opa bersedia kami wawancarai? Kebetulan kameraman saya dan beberapa crew belum pulang, masih di mobil tuh. Bisa kami wawancarai sebentar dengan Opa?" "Kenapa tidak? He, he, he... Apa saja yang ingin, kamu ketahui, Anak Muda?" Banyak orang yang berkerumun di sekitar tempat Opa diwawancarai. Mereka ikut mendengarkan apa yang dibicarakan Opa dan Niko. Umumnya mereka terkesan hanyut mengikuti pembicaraan tersebut, sehingga tidak ada satu pun yang ikut bicara walau mereka terekam oleh kamera. "Dunia ini sudah rapuh, sebentar lagi langit akan runtuh..." Itu kata-kata Opa yang pertama ketika ia ditanya apakah dirinya mengetahui banyak hal tentang masa depan dunia. Jawaban seperti itu bukan ditentang oleh Niko atau yang lain, namun justru disimak dan direnungkan dalam benak mereka masing-masing, Seolah-olah mereka hanyut dalam tiap ucapan Opa yang bernada dakwah, ceramah, namun jugaberbau nujum. Ia tak ubahnya seperti Nostradamus, peramal kelas dunia yang hidup di abad ke 16. "... saya tahu apa yang belum Anda ketahui, karena memang saya adalah Anak Langit, yang turun ke bumi dengan mengemban tugas memberi informasi kepada Anda tentang kehancuran bumi, yang akan terjadi tidak lama lagi Kiamat akan datang dalam hitungan hari, bukan sebulan-dua bulan lagi, tapi sehari-dua hari lagi." Mata tua Opa yang cekung menatap mereka yang mengerumuninya secara satu-persatu, terutama mata Niko Ketika ia berbalik menatap Niko kembali, ia menemukan sesuatu yang disembunyikan dalam hati Niko tadi, yaitu rasa tidak percaya dan penasaran. Oleh karenanya, Opa pun berkata kepada Niko secara blakblakan. "Anda dari tadi menyimak kata-kata saya, tapi tidak mempercayai sepenuhnya. Bukankah begitu, Nak?" Niko jadi salah tingkah. "Mmm, eeehmm, sebenamya... mmmmh..." "Begini saja, Anda percaya atau tidak, bahwa sebentar lagi akan turun hujan dalam cuaca masih terang benderang dan panas masih menyengat seperti saat ini..!" Mereka melirik ke langit. Terang. Panas matahari masih sangat benderang. Gersang. Tapi lelaki tua itu tampaknya yakin betul dengan apa yang diucapkannya. Bukan hanya Niko saja, tapi beberapa orang yang mendengarnya merasa sangsi atas ramalan Opa. "Coba, sekarang Anda hitung dalam hati, satu, dua, tiga... dan seterusnya. Belum sampai hitungan ke dua puluh hujan sudah turun lebih dulu. Nggak percaya ya? Coba saja hitung dalam hati mulai sekarang...!" Tanpa diperintah lagi, orang-orang yang ada di sekitar Opa ikut menghitung dalam hati. Demikian pula halnya dengan Niko. Mereka menghitung: satu... dua... tiga... empat... Dan, pada hitungan ke dua belas, tiba- tiba gerimis datang. Matahari tetap benderang. Tak lama kemudian gerimis berubah menjadi hujan agak deras. Dan, orang-orang di sekitar Opa berlarian mencari tempat teduh, karena wawancara itu dilakukan di luar gedung. Niko dan crew-nya ikut kebingungan mencari tempat meneduh, karena hujan semakin deras. Hanya saja, hujan turun tak lama. Hanya tiga menit, kemudian terang kembali tanpa setetes air pun yang turun dari langit. Niko dan yang lainnya hanya bisa terbengong. Hati mereka menggumam tanda sangat mempercayai tiap kata-kata Opa. "Gila Benar juga apa kata dia tadi, ya?" "Wah, kalo gitu kiamat bener-bener bakalan tiba nih?!" "Gue rasa dia bukan manusia biasa. Pasti malaikat atau jenisnya, yang tahu tentang kiamat." "Celaka! Kalo gitu aku harus bertobat sekarang juga!" "Ah, mungkin apa yang dikatakannya cuma kebetulan saja benar-benar menjadi kenyataan," pikir salah satu crew-nya Niko. Tapi orang itu buru-buru buang muka, karena Opa seperti mendengar suara hatinya, lalu menatapnya dengan tatapan mata cekung yang membuat jantungnya berdetak cepat. Bulu kuduknya merinding. Dan, hal itu dirasakan pula oleh Niko. sehingga Niko mulai menangkap adanya bahaya jika pikiran Opa tidak segera dialihkan. "Jadi... kapan tepatnya kiamat akan tiba, Opa?" "Dalam minggu ini. Tanda-tandanya akan tampak beberapa hari lagi. Tunggu saja, dan buktikan kebenaran kata-kata saya, Nak." Salah seorang yang mendengarnya segera mendekati Opa dan memohon-mohon dengan wajah ketakutan. "Tolong, Opa... tolong batalkan datangnya kiamat itu. Saya belum siap untuk mati! Saya takut, Opa." "Siapa yang ingin selamat dalam kiamat nanti, dia harus ikut aku! Siapa yang tidak ikut aku, dia akan binasa dalam beberapa hari lagi!" "Saya mau ikut Opa, tapi keluarga saya harus ikut Opa! Saya ingin dapat keselamatan bagi seluruh keluarga saya, Opa!" "Barang siapa mau selamat, dia harus jadi pengikutku!" "Saya mau, Opa!" celeluk seseorang di belakang sana. Yang lain pun ikut bersahutan menyatakan mau menjadi pengikut Opa. "Apa benar sih?!" dalam hatinya Niko masih bertanyatanya, seakan ada sisa keraguan yang timbultenggelam. Namun sebagai seorang yang bekeija untuk sebuah infotaiment, Niko tidak boleh menuruti apa kata hatinya sendiri. Tentunya dia tetap akan menjadikan sesuatu yang unik itu menjadi salah satu rangkaian informasi mistik sebagai matcri acaranya. Hal-hal gaib yang bersifat kontroversial tidak boleh ia lewatkan begitu saja, sepanjang masyarakat pemirsa rnenyukai danmerigingiiikan materi tersebut. "Nak...," kata Opa lagi kepada Niko, " ... meski pun hatimu masih ragu, tapi Opa tidak keberatan menerima kedatanganmu kerumah Opa sebelum kiamat itu terjadi. Barangkali kamu ingin mengtahut lebih banyak lagi tentang dunia yang sebentar lagi akan hancur ini, silakan saja datang ke rumah Opa. Atau, mungkin sanak saudaramu menginginkan keselamatan dari ancaman kiamat, silakan bergabung dengan Opa. Pintu rumah Opa terbuka lebar-lebar untuk dirimu, karena kamu telah membantu menyebarkan kabar duka ini lewat media tempatmu bekeija ." "Terima kasih, Opa. Boleh saya minta alamat tempat tinggal Opa?" "Kenapa tidak? Catat saja..." Niko mencoba melupakan nujum sang Opa. Dalam dunia mistik ia sudah terlalu sering menghadapi penipuan yang.bermodus supranatural. Segala macam trick di dunia supranatural sudah sering dijumpainya sehingga turunnya hujan di siang hari bolong itu dianggapnya suatu trick ala Opa yang belum diketahui rahasia kebohongannya. Namun sekarang, kata-kata Opa terngiang kembali di telinga Niko mengingat awan jingga yang melapisi langit diyakini sebagai tanda-tanda akan datangnya kiamat. Niko menjadi lebih cemas lagi setelah mendengar keterangan Kumala Dewi mengenai awan beracun itu, karena ia tak pernah menyangsikan katakata Kumala yang pernah membangkitkan dirinya dari kematian tragis. Mendengar cerita tentang Opa, dahi Kumala sedikit berkerut. Seperti ada yang dipikirkan secara serius. Sandhi dan Buron pun ikut termenung seakan berkomentar sendiri dalam hati kecilnya. Lalu, terdengar suara Sandhi yang bertanya kepada Kumala. Pelan. "Apakah orang itu adalah jelmaan dewa yang..." "Bukan!" potong Kumala cepat. "Dari bicaranya terkesan dia cari pengikut sebanyak-banyaknya supaya mau menjadi pengikutnya. Aku khawatir dia punya aliran sesat yang bertujuan mencelakakan keimanan seseorang." "Tapi bagaimana dengan tanda-tanda kiamat di atas kita itu?" tanya Niko. Kumala diam sesaat. Mungkin mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan alasannya. Sayangnya sebelum ia sempat bicara, tanda-tanda lain muncul dan membuat Sandhi, Niko serta Buron mundur beberapa langkah dari tempatnya masing-masing. Menjauhi Kumala . Hembusan angin sejuk dan cahaya biru samar- samar melintas di sekitar mereka, membuat mereka mundur. Kumala justru diam dengan senyum cantik tersungging di bibir ranumnya. Tak lama kemudian mereka melihat sesosok pria muda tampan dan gagah sudah berada di depan Kumala. Pria tampan berdagu belah itu mengenakan jubah hijau dalamannya putih berhias benang emas. Aroma wangi yang muncul dari tubuhnya menyatu dengan aroma wanginya Kumala, membuat hati mereka dihinggapi perasaan damai dan tenang. Mereka mengenail betul siapa tamu yang datang dengan hembusan angin sejuk dan bergeraknya selalu diikuti bayang-bayang cahaya biru. Dia tak lain adalah si Dewa Pengembara yang akrab dipanggil: Argontara Bhisma, atau Argon, (baca serial Dewi Ular dalam episode: 'RAHASIA ANAK NERAKA"). "Maaf terlambat datang, Dewi Ada urusan yang harus kuselesaikan dulu dengan piliak Kahyangan." Senyum Kumala semakin mekar. Hatinya berseri- seri, karena suara Argon mengandung getaran romantis yang menjadi ciri khas dirinya. "Nggak apa-apa. Aku nggak pernah bosan menunggu kedatanganmu. Tapi, apakah kamu nggak mengalami gangguan saat menembus dimensi kehidupan manusia ini, Argon? Lihatlah di atas sana.. !" "Aku nggak turun lewat dimensi langit, tapi menembus bumi, karena mencari jalan yang cepat mencapai sini, dan...," Argon berhenti bicara setelah mengangkat kepala, mendongak ke langit, dan ekspresi wajahnya mulai sedikit cemas. Rupanya ia langsung mengenaii awan jingga yang sekarang semakin tebal itu. "Celaka! Separah ini rupanya?!" "Kan sudah kubilang dalam bisikanku tadi?" "Tapi kupikir belum separah ini, Dewi. Hmm..." ia manggut-manggut. Berpikir dengan sedikit lebih tegang lagi. Tiba-tiba sesuatu jatuh dari atas. Plook...! Lalu ada yang jauh lagi, plook...! Dan, plook, plook...! Semua mata tertuju pada benda yang jatuh itu. Oh, ternyata bangkai burung. Seperti kedua ekor burung yang tadi bangkainya jatuh lebih dulu, burungburung ini juga mati dalam keadaan menyedihkan, Tanda-tanda keracunan terlihat jelas pada kondisi bulu dan kepalanya yang biru legam, Bahkan bagian tubuh lainnya juga biru legam . "Apa becar ini tanda-tanda kiamat akan tiba?" bisik Kumala, seakan ingin mencocokkan pendapat batinnya. Dewa Argon menggeleng. "Kalau dibiarkan memangya, kiamat. Tapi kita harus mencegahnya, Dewi. Ini perbuatan Lokapura. Awal dari datangnya Perang Maha gaib." "Lokapura yang ada di balik awan jingga itu, maksudmu? H:nm, sudah kuduga. Tapi aku kurang percaya dengan dugaanku sendiri. Bodoh, memang." "Siapa?" "Aku yang bodoh." Tangan Argon menepuk pelan pundak Kumala. "Tidak. Kamu tidak bodoh, Dewi. Kamu harus hentikan awan beracun itu agar jangan sampai lebih , rendah lagi. Kematian akan menghampar di permukaan alam ini jika awan itu semakin rendah " "Sudah kucoba menghentikan dan menetralkan racunnya, tapi... aku gagal, Argon." "Kau belum gagal. Kau hanya tidak mengetahui ? caranya." "Adakah caranya yang lebih cepat?" "Tentu saja ada." "Kau mau memberitahukan padaku?? " "Kenapa tidak?" Kemudian Argon membawa Kumala berjalan ke belakang bangunan pendapa. Sandhi, Buron dan Niko tidak berani mengikuti langkah kedua anak dewa itu. Mereka bertiga tahu, bahwa di belakang pendapa di sana, Argon sedang bicara tentang suatu rahasia gaib kepada Dewi Ular. Mereka bertiga hanya bertanya- tanya dalam hati, rahasia gaib macam apa yang dibeberkan Argon kepada Dewi Ular? 0o-dw-234-o0 2 TIGA pesawat penumpang jatuh di tiga tempat. Salah satu korbannya ditemukan tewas dalam keadaan hancur, tapi wajahnya biru legam. Para ahli menyimpulkan aaanya uap beracun berkadar tinggi yang dihirup oleh mereka dan mengakibatkan pilot pesawat kehilangan kendali, lalu jatuhkan pesawat tersebut. Keluarga Kumala mendengar kabar tersebut dari siaran berita di salah satu televisi swasta. Lalu, mereka berkesimpulan sama, bahwa pesawat-pesawat yang naas itu diyakini telah terbang dalam batas ketinggian tertentu, lalu awan beracun berhasil merusak seluruh jaringan saraf mereka. Kesimpulan lain yang mereka dapatkan adalah, bahwa awan beracun sudah semakin rendah dan sebentar lagi akan menewaskan seluruh kehidupan di muka bumi. Diperoleh keterangan pula bahwa awan beracun bukan hanya terdapat di atas wilayah Indonesia, tapi juga di seluruh asia, bahkan seluruh dunia. Ini menandakan Dewa Kegelapan memang ingin me- musnahkan kehidupan inanusia di seluruh dunia. "Ron, di daerah pegunungan sudah ada orang yang tewas secara tiba-tiba. Lihat berita di FAN-TV. Coba pindahkan chanel ke FAN-TV. Buruan...!" kata Sandhi yang baru datang dari rumah sebelah. Buron yang semula diam saja menikmati siaran sepak bola, kini buruburu memindah chanel tevenya, dan menemukan benta yang dimaksud Sandhi. Beberapa orang yang tinggal di pegunungan keracunan udara. Tentu saja hal itu menandakan siapa yang berada di tempat tinggi atau dataran tinggi, dia akan mati karena awan jingga telah menebarkan racunnya lebih ke bawah lagi. Repotnya, bahaya maut itu tidak akan diketahui oleh si calon korban karena tidak mengetahui dari mana datangnya, juga tidak mengenali apa penyebabnya. Kapan dan di mana racun itu telah menjalar juga sulit diketahui secara awam. "Gawat! Radiasi racun itu sudah semakin rendah!" geram Buron seperti tak sabar namun juga jengkel lantaran tidak bisa berbuat banyak menghadapi bahaya seperti itu. "Kenapa dia lama melakukan penangkalan?! Ada gangguan apa ya?" sambil Sandhi mengenang Kumala Dewi yang sedang berusaha menyingkirkan awan jingga itu. Menurutnya sudah cukup lama Kumala pergi bersama Argon. Sudah ada tiga jam. Mestinya sudah bisa menghilangkan awan tersebut. Tapi kenyataannva justru awan itu semakin rendah dan semakin menimbulkan korban lebihbanyak lagi. Bukan hanya buning atau hewan lainnya, tapi manusia sudah ada yang menjadi korban keganasan awan beracun itu. Tentu saja hal itu sangat diketahui oleh putri tunggalnya Dewa Permana dan Dewi Nagadini itu. Tetapi agaknya ia memang menghadapi suatu masalah di atas sana. Kumala sudah sejak tadi merubah sosok dirinya menjadi seekor naga cahaya. Naga cahaya itu berwama hijau dan melesat ke atas, mendekati gumpalan awan jingga. Di punggung naga cahaya itu duduk seorang dewa tampan yang tak lain adalah Dewa Argontara Bhisma. Dialah yang memandu arah perjalanan Dewi Ular untuk melumpuhkan awan beracun. "Jangan ke arah matahari, Dewi. Kau bisa terbakar karena kekuatan racun yang bercampur panas matahari. Ke arah selatan saja." "Tak kurasakan hawa sejuk ada di sana, Argon!" suara Kumala besar, karena dia dalam keadaan tidak menjadi gadis cantik seperti biasanya. Dan, suara itu hanya didengar oleh Dewa Argontara. Sementara suara Argonjuga hanya didengar oleh Kumala saja. Di bumi, di sisi lain, beberapa orang sempat melihat cahaya hijau meluncur di langit seperti roket. Mereka tak dapat melihat bentuk naganya. Mereka hanya melihat cahayanya yang menyerupai perjalanari roket berasap di belakangnya. Pada satu posisi tertentu naga cahaya tak dapat bergerak lagi. Mereka seperti terkepung pusaran angin kencang yang membuat naga cahaya hanya bisa berputar dan berputar. Maju tak bisa, mundur pun tak manipu. Hawa panas menyertai angin padat dari berbagai arah itu. "Argon, aku nggak bisa bergerak nih!" "Kita terjebak pusaran petir, Dewi! Lekas keluar darisini!" "Keluar ke mana?! Aku nggak bisa bergerak?!" Argontara Bhisma berdiri di atas punggung naga. Kedua tangannya merapat. Telapak tangan digesekkan satu kali dan dilepaskan keduanya ke arah kanan dan kiri. Kilatan cahaya ungu terlepas dari kedua telapak tangan itu. Claaap...! Bleeegaaaar...! Dentuman keras teijadi. Naga hijau terlempar keluar dari pusaran petir. Argon pun terpisah dari naga hijau yang sudah tidak berbentuk cahaya lagi tapi berwujud naga bersisik emas berbadan hijau. "Argooonn...!" Zlaaaap...! Zuuub, zuuub...! Naga hijau berkelok melesat zig-zag, tahu-tahu badannya sudah berada di bawah kaki Argon. Dewa tampan bersuara romantis itu melayang dan jatuh di punggung naga lagi. Jleeg...! Ia jatuh tengkurap seperti memeluk badan naga dengan kedua tangannya. "Cepat menjauuh...!" serunya, dan naga hijau melesat kembali menjauhi pusaran petir. "Hancurkan saja pusaran petit itu dari sini!" "Jangan! Pusaran petir itu memang dipersiapkan untuk melesakkan awan beracun ini, agar menyebar cepat ke bumi pada saatnya nanti. Hey, kamu inasih menggunakan napas mumi, Dewi?" "Masih." "Syukurlah Kalau nggak pakai napas murni kita sudah hancur karena racun tadi. Gunakan terus, jangan lupa!" "Ya. Tapi ke mana kita mencari sumber racunnya?" "Coba ke arah timur." "Aku bingung, yang mana arah timur?" "Sebelah kiri kita" Lalu, Dewi Ular berbentuk naga hijau bersisik emas itu melesat kembali ke arah kiri. Dewa Argontara Bhisma masih duduk di punggung naga, seperti kesatria yang maju ke medan laga. Akhirnya mereka temukan awan sejuk. Gumpalan awan sejuk itu diyakini Argon sebagai pusat racun yang paling berbahaya. Argon menyuruh Dewi Ular menggunakan kesaktiannya untuk menghancurkan gumpalan awan sejuk, sebab hanya Kumala yang memiliki kemampuan menghancurkan awan tersebut. "Nah, sekarang gunakan kesaktianmu: Darah Berhala Murka...! "Wuuut.. ! " Dewa Argon melesat menjahui badan naga lebih dulu. Ia berubah menjadi cahaya ungu seperti bintang kecil. Pada saat itu Dewi Ular segera menggunakan kesaktiannya yang bernama Darah Berhala Murka, karena dia adalah keturunan dari Dewa Murkajagat. Kesaktian milik kakeknya itu menurun padanya dan digunakan hanya untuk menghancurkan kekuatan gaib tingkat tinggi. Kini tubuh naga bukan hijau lagi, tapi merah seperti bara. Dalam keadaan begitu, naga tersebut meliuk-liuk bagaikan menari di udara lepas, lalu tiba- tiba dari mulutnya menyemburlah percikan cahaya merah yang sangat banyak dan tertuju pada pusat gumpalan awan sejuk. Woooossssszzzz...!! Blegaaaarrrrr....! Luar biasa besarnya dentuman dahsyat yang terjadi saat itu. Awan jingga segera berubah menjadi abu-abu, makin lama makin gelap. Langit bergetar bagaikan mau runtuh. Mereka yang ada di bumi melihat perubahan awan jingga menjadi hitam sebagai tontonan yang mengagumkan. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa mereka baru saja diselamatkan dari ancaman kepunahan. Mereka bahkan bertepuk tangan dan tertawa-tawa menyaksikan perubahan cuaca yang cukup drastis itu. Karena, setelah awan menjadi hitam, lambat laun berubah menjadi putih dan langit menjadi terang kembali . "Asyiiik, nggak jadi kiamat! Kiamat dibatalkan!" "Horeee..., kita masih dapat hidup lebih lama lagi..!" Orang-orang yang bersorak girang itu adalah mereka yang berada di rumah Opa. Mereka senang sekali melihat langit cerah kembali. Tanda-tanda kiamat sudah.tersingkirkan, berarti mereka punya harapan untuk hidup lebih lama lagi. Hampir semua yang menjadi pengikut Opa merasa lega. Hanya Opa sendiri yang bersungut-sungut memendam kejengkelan dalam hatinya. Sepeitinya ia tak rela kiamat tak jadi datang. "Kiamat nggak jadi datang kan, Opa?" "Bukan nggak jadi datang, tapi tertunda!" sentak Opa dengan kesal. Lalu, dengan caranya sendiri Opa meyakinkan beberapa orang yang sudah terlanjur mempercayainya, untuk membuat mereka yakin bahwa kiamat akan datang dan saat ini sedang tertunda. Opa juga mengatakan akan ada tanda-tanda kedua yang bisa dijadikan isyarat akan kedatangan kiamat nanti. "Sebentar lagi akan ada tanda-tanda kedua. Kalian bisa lihat sendiri nanti." ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== "Kapan tanda-tanda itu akan muncul, Opa?" "Tidak sampai satu minggu." "Kalau ternyata tidak ada tanda-tanda bagaimana?" "Kamu percaya nggak sama omongariku?! Kamu mau selamat nggak?!" bentak Opa lagi dengan nada kesal. Mata cekungnya menatap seakan menembus ke jantung orang itu. Jantung orang itu menjadi berdetak cepat dan cepat sekali hingga dia terengah-engah. Ia pun pergi menghindari tatapan mata Opa sambil memegangi dadanya. Pada saat itu dadanya terasa sesak dan panas. Entah mengapa. "Dadaku kok jadi kayak gini, ya?" ia mengadu pada seorang teman: "Kebanyakan merokok kali luh." "Ah, nggak juga. Biasanya...," orang itu tak mampu melanjutkan kata-katanya. Ia tersedak, batuk satu kali, lalu muntah. "Hoeeek...!" "Hahh...?!" temannya terbelalak kaget karena yang dimuntahkan orang itu adalah darah hitam. Darah busuk dan kotor. Orang itu muntah terus tiada henti- hentinya, sampai akhimya ia terkulai, lalu meregang nyawa. Tak bernapas lagi. "Kenapa dia tadi?" bisik teman yang lain. "Nggak tahu." "Kan tadi ngomong ama elu?" "Iya sih,tapi..." "Ngomong apa dia?" "Dia habis debat sama Opa, menyangsikan ramalan Opa, lalu dia dipandang Opa, dadanya terasa panas dan... dan... tahu-tahu dia batuk, lalu muntah. Muntah darah. Terus mati." "Wah, gawat...?!" Orang itu cemas dan melirik ke arah Opa yang ada di ruang dalam. Matanya menampakkan rasa curiga dan kecemasan yang mendalam. Yang lain juga demikian. Tapi ada pula yang menyalahkan si korban. Pro-kontra tentang Opa mulai bermunculan di antara orang-orang yang semula mempercayai ramalan Opa dan bersedia menjadi pengikutnya demi keselamatan jiwanya saat kiamat tiba nanti. Pro-kontra itu telah membuat keruh suasana karena menyebar sampai ke mana-mana, didengar oleh orang yang tidak menjadi pengikut Opa. Bahkan sampai juga di telinga Niko Madawi. "Hallo... Sandhi, ya?" sapa Niko lewat HP-nya. "Ya, kenapa? Ada apa, Nik?" "Aku mau ngomong sama Kumala." "Kumala lagi ada pembicaraan penting sama tamu, mereka di pendapa. Ada apa? Ada pesan yang bisa kusampaikan, Nik?" "Tentang Opa." "Hmm, orang yang pernah kamu ceritakan itu? Ada apa dengan dia?" "Ada keanehan lagi pada dirinya." "Dia kecewa karena kiamat nggak jadi datang, begitu?" "Pokok masalahnya kayaknya sih soal itu, tapi... dampaknya cukup menyedihkan pada diri beberapa orang yang percaya padanya." "Para pengikutnya, maksudmu?" "He, eh...! Ada tiga orang yang tewas gara-gara kejengkelan Opa atas tertundanya kiamat. Ah, sebaiknya aku ke situ aja deh..." ""Iya, Nik... Bagusan lu ke sini aja, biar bisa bicara langsung sama Kumala, dan aku bisa jelas mendengarnya." Selesai bicara dengan Niko, Sandhi meletakkan gagang telepon sambil diam tertegun. Ia merenungi kata-kata Niko. Menurutnya, jika benar ada pengikut Opa yang tewas akibat kekecewaan Opa atas tertundanya kiamat, maka jelas sudah bahwa Opa bukan orang pintar beraliran putih. Jelas bahwa Opa lebih menghendaki kiamat tiba daripada tertunda. "Jangan-jangan dia sendiri yang menciptakan tandatanda kiamat?" pikir Sandhi masih tetap termenung melamun di depan meja telepon. Kumala duduk bersila di pendapa. Rambutnya yang panjang digulung naik asal-asalan, mengenakan jepit rambut warna hijau dari bahan viber berbentuk seekor naga. Sisa rambutnya yang berjuntai di leher dan pundak membuat ia semakin tambah cantik dan mempesona. Bibirnya yang selalu tampak ranum dan basah sesekali tersenyum, mendebarkan hati lawan jenisnya yang memandang. Ia mengenakan blus potongan tank-top dan celana jenis kulot ketat. Aroma wangi khas bunga cendanagiri dari Kahyangan menyebar ke mana- mana. Aroma wangi itu keluar dari tiap pori-pori tubuhnya yang halus dan lembut selembut kulit bayi. Meski pun ia sering tersenyum ramah dan mempesona tapi ia tetap kelihatan anggun dan berkharisma. Ia tampak seperti gadis terhormat dan disegani oleh lawan jenis yang punya hobby iseng. Kumala Dewi bicara dengan nada lembut, tapi memiliki aksentuasi yang cukup tegas, berwibawa. "Sudah berapa lama menjalin hubungan dengan Ringgo " "Antara.... tiga bulan. Dan, kami sudah terlalu jauh melangkah. Artinya, sudah seperti suami-istri layaknya, Kumala" "Tinggal serumah?" "Kadang ya, kadang dia pulang ke tempat kostnya, atau aku yang datang ke tempat kostnya. Karena itulah, aku merasa sangat kehilangan atas kepergiannya, Kumala. Dia terpengaruh kata-kata mantan pacarnya yang bemama Sisca itu, sehingga tega meninggalkan aku untuk bergabung dengan kelompok Umat Pilihan." "Bisa dijelaskan, siapa yang dimaksud Umat Pilihan itu, Tante?" "Menurutnya, Umat Pilihan adalah sekelompok manusia yang akan selamat dan dijamin akan hidup abadi pada saat kiamat datang nanti." "Hmmm, itu...," Kumala Dewi manggut-manggut, agaknya sekarang ia mulai paham apa yang dimaksud dalam kasusnya sang tamu itu. Ringgo adalah mahasiswa semester akhir yang berperawakan tegap, gagah dan memiliki ketampanan yang lumayan. Meski tak memiliki cambang dan kumis, namun Ringgo memiliki sorot sepasang mata yang penuh keromantisan. Sikapnya yang ramah dan supel membuat Tante Firda tertarik ketika mereka jumpa pada suatu seminar beberapa waktu yang lalu. Tante Firda sering merasa tergoda oleh lirikan mata Ringgo yang mendebarkan hati, sehingga sebagai janda yang sudah lima tahun ditinggal mati suami itu Tante Firda merasa perlu untuk melakukan pendekatan. Bahkan hasratnya sering meletup-letup setiap kali ia bicara dengan Ringgo. Maka, pada suatu malam, pemuda berambut ikal rapi itu diundang datang ke rumah dengan alasan membicarakan rencana usaha baru di bidang periklanan. Malam itu adalah malam yang ditunggu-tunggu oleh Tante Firda. Wanita berperawakan tinggi, sekal dan bertampang indo itu sudah mulai berdebar-debar sebelum petang tiba, karena ia melihat langit mendung, hujan akan turun. Itulah sebabnya ia berusaha membujuk Ringgo melalui teleponnya agar segera datang ke rumahnya. Kedua anaknya sedang bermalam di rumah nenek, tinggal ia sendiri dan seorang pelayan yang masih berusia muda. Meski pun Tante Firda sudah berusia 39 tahun, namun ia masih memiliki kecantikan dan keelokan tubuh yang menggiurkan bagi kaum lelaki . Maka, ketika Ringgo datang ke rumah itu sekitar pukul tujuh lewat, hatinya pun merasa gundah lantaran Tante Firda mengenakan gaun yang menggoda iman. Perempuan berambut sebahu itu mengenakan gaun ketat badan yang hanya sebatas paha, tak sampai menutup lututnya. Gaun itu tak berlengan, sehingga nyaris sebagian besar kulit tubuhnya yang putih montok itu terlihat jelas di mata Ringgo. Apalagi sikap duduknya sesekali tampak seronok, membuat Ringgo berusaha menahan diri untuk tidak kentara sering melirik ke arah yang menggiurkan itu. "Aku butuh seorang accounting untuk menangani periklanan ini. Dan, aku harapkan kamu bisa menangani nya, Ringgo." "Kalau Tante percaya dengan saya, saya sanggup menanganinya, asalkan...," Ringgo berhenti bicara, memandang ke arah luar. "Wah, hujan...?!" gumamnya pelan. Hujan memang turun agak deras. "Ah, cuek ajalah... cuma hujan ini, kan nggak gempa bumi...," canda Tante Firda sambil tersenyum, hatinya semakin girang karena cuaca inilah yang memang ia harapkan di saat Ringgo ada di rumahnya. Kegirangan Tante Firda bertambah setelah hujan menjadi sangat deras. Pintu ruang tamu terpaksa ditutup karena menghindari hembusan angin yang akan membawa masuk butiran hujan. Pembicaraan masalah bisnis dilanjutkan sebagai kamuflase belaka. "Sudah pukul sepuluh, Tante..." "Memangnya kenapa kalau pukul sepuluh? Pukul dua belas pun nggak masalah. Kamu nggak usah khawatir apa-apa selama di sini. Ditanggung aman dan nyaman kok, hiii, hii..." "Aman dan nyaman bagaimana?" senyum Ringgo terkesan malu-malu. "Yaah, aman. Nggak akan ada yang mengganggu keasyikan kita berdua. Itu kalau kita asyik lho. Nyaman, artinya...yaah, enjoy aja. Nggak akan ada yang mengusik keindahan kita berdua. Itu juga kalo kita bisa menikmati keindahan berdua lho..." Tendensius sekali kata-katanya, pikir Ringgo. Ia semakin gelisah. Tante Firda pindah duduk di sofa panjang, tepat di samping kanan Ringgo. Alasannya menunjukkan berkas konsep keija yang telah dibuatnya belum lama ini. Aroma wangi sensual tercium lembut oleh Ringgo. Aroma sensual itu datang dari tubuh mulusnya Tante Firda. "Mau tambah minum, Ring? Kopi, mau?" "Hmmm... nggak usahdeh," Ringgo kikuk. "Nggak apa kok, biar aku bikinin kopi ya? Pelayanku jam segini udah tidur, jadi aku suka bikin kopi sendiri " Ketika Tante Firda mau berdiri, secara refleks Ringgo mencekal tangan Tante Firda. "Nggak usah repot-repot, Tante. Minuman ini aja masih ada kok Belmn habis, dan... dan..." Ringgo semakin salah tingkah karena mata Tante Firda melirik pada pergelangan tangannya yang dipegang Ringgo. Buru-buru Ringgo melepaskannya. Tapi Tante Firda justru semakin menantang sikapnya. Ia duduk kembali dengan lebih merapatkan diri pada Ringgo. "Kenapa genggamanmu kau lepaskan? Pegang lagi aja. Nggak apa-apa kok. Aku malah senang." "Maaf, Tante..." "Nggak apa-apa. Kamu boleh pegang aku di hagian mana saja." "Di bagian mana saja? Wah, nanti..." "Nanti kita pindah ke kamar saja, bagaimana?" Ringgo tersipu-sipu tak bisa memberi jawaban. Hati Tante Firda semakin berdebar-debar. "Aku yakin dia mau," ujarnya dalam hati. "Aku yakin dia nggak akan menolak. Wajahnya merah, pertanda dia malu tapi mau. Oooh... aku suka cowok yang kayak gini. Dia pasti dapat memuaskan hasratku. Ooh, sudah lama aku nggak bercinta, pasti nikmat bercumbu dengannya. O, ya ampunn... celananya sudah menonjol?! Idiiih... nakal juga yang ada di pangkuannya itu. Tapi dia sopan dan nggak kurang ajar. Aku suka pria kayak dia..." Malam semakin indah ketika topik pembicaraan mereka sudah berganti, dari masalah bisnis menjadi masalah erostis. Tante Firda suka sekali menggoda Ringgo yang masih malu-malu, walau bukan berarti dia masih peijaka tingting. Trikk... klikk...! Tante Firda mematikan lampu utama. Kini yang menyala hanya lampu di sudut ruang tamu, yang memakai kap berwarna cream. Suasana menjadi remang-remang dan sepi. Hanya deru hujan yang kedengaran samar- samar dari tempat mereka saling duduk merapatkan diri. "Kenapa lampunya diganti yang redup begini, Tante?" "Biar kamu bebas memegangku, biar kamu nggak malu kalau mau pegang aku. Pegang aja sekarang, gih.. ! '' "Hmm, say... saya harus pegang bagian mana?" "Terserah, sesuka kamu. Pegang ini juga boleh," sambil tangan Ringgo diraihnya lalu diletakkan ke dadanya. Ringgo gemetar. "Napasmu memburu...," bisik suara Tante Firda. "Sa... saya..." "Sentuh lebih ke bawah lagi... yaah, jangan takut, Sayang... Aku suka..." "Sungguh? Tante... Tante suka...?" "Yaah... suka...," sambil bibirnya merekah dan pelanpelan mendekati bibir Ringgo. Matanya menjadi sayu ketika tangan Ringgo benar-benar turun, menyelusup di balik gaun di dadanya, lalu mendesis karena tangan Ringgo menyentuh kehangatan yang membukit. Ringgo tertantang, dan menjadi bersikap pantang mundur. Bibir yang ada di depannya segera dikecup. Dilumat dengan lembut bersama remasan tangan yang lembut pula. Tante Firda membalas dengan lumatan mengganas. Ia merasakan nikmat yang luar biasa, sehingga dahinya berkerut lantaran tak mampu mengerang. Lidah Ringgo menjadi sasaran lumatan ganas itu. Ia enggan membawa pindah Ringgo ke kamar, sehingga sofa pun mereka jadikan ajang kemesraan yang paling indah menurutnya. Sejak itu Tanle Firda sering menikmati kehangatan yang melambungkan jiwanya ke puncak asmara. Ringgo sering datang dan bermalam di rumahnya. Ringgo pandai melambungkan jiwanya berkali-kali dalam satu malam, sehingga Tante Firda sangat takut kehilangan pemuda itu. Apapun yang diinginkan Ringgo selalu dipenuhi oleh Tante Firda, termasuk materi. Janda kaya itu merasa mampu menghidupi pasangan kencannya, sehingga timbul ambisinya untuk memiliki Ringgo sepenuhnya. "Lupakan pacar lamamu itu. Dia cuma menyengsarakan dirimu, bukan?" "Aku sudah lupakan dia kok Cuma, dia aja yang sering ngebel ke HP-ku padahal..." "Ganti nomor HP-mu dengan yang baru dan jangan berikan nomornya pada si gadis jalang itu! Besok kubelikan kamu nomor baru." Namun pada suatu hari, Ringgo mengaku mendapat telepon dari Sisca, mantan pacarnya. Dia merasa tidak memberikan nomor HP-nya kepada Sisca. Diduga Sisca mendapatkan dari teman akrab Ringgo yang bernama Weldy itu. Tante Firda sangat cemburu jika Ringgo terima telepon dari Sisca, sehingga sempat nekat merampas HP Ringgo ketika Ringgo ditelepon Sisca dan Tante Firda bicara kasar pada Sisca. "Hey, perek jalang! Jangan telepon Ringgo lagi, ya! Dia sudah muak padamu! Dia sudah menjadi milikku! Lu silakan cari mangsa lain dari tempat mangkal lu! Di mana sih mangkal lu? Di Monas?!" "Perempuan mesum! Gue nggak bakalan mundur lu tantangin begitu! Lihat, sebentar lagi Ringgo akan tunduk sama gue dan jijik ama lu!" Balasan ketus Sisca ternyata terbukti. Ringgo menjadi kurang hangat lagi terhadap Tante Firda. Jika diminta untuk datang ke rumah, Ringgo selalu beralasan untuk tidak bisa datang. Bahkan beberapa hari yang lalu Tante Firda memergoki Sisca baru keluar meninggalkan tempat kost Ringgo. Dan, ketika Tante Firda datang ke tempat kost itu, Ringgo jadi uring-uringan tak jelas sebabnya. Namun titik masalahnya adalah Ringgo tidak suka Tante Firda datang ke tempat kostnya itu . "Sorry, Tante... aku sudah nggak berani berbuat zinah lagi. Sekarang kiamat sudah dekat, aku harus bertobat. Aku mau menjadi Umat Pilihan saja! Biar aku bersama Sisca, karena dialah yang akan membimbingku menjadi Umat Pilihan. Aku akan bergabung dengan kelompoknya, supaya bisa selamat pada saat kiamat datang nanti!" Kata-kata itu menyakitkan hati Tante Firda. Yang lebih menyakitkan lagi Ringgo diam-diam pindah tempat kost. Tak jelas informasi yang didapat Tante Firda, di mana Ringgo sekarang berada. Bahkan HP-nya sudah tidak bisa dihubungi lagi. Tapi ada kabar kecil dari teman kuliahnya, bahwa Ringgo sudah bergabung dengan kelompok Umat Pilihan bersama Sisca. Umat Pilihan itu meyakini akan datangnya hari kiamat pada bulan dan tahun ini. Tante Firda kalang kabut. Ia yakin Ringgo telah diguna-guna Sisca supaya tunduk dan mau menjadi pengikut Umat Pilihan. Oleh karena itu, Tante Firda menghubungi Kumala Pewi atas petunjuk rekannya yang sudah lama mengenal Kumala. Tante Firda meminta bantuan pada Kumala untuk mengembalikan jati diri Ringgo, dan membuat Ringgo kembali padanya. "Sebenarnya saya bukan dukun ilmu pelet, Tante," kata Kumala saat menanggapi permohonan Tante Firda dengan ramah dan lembut. "Tetapi yang menarik bagi saya adalah adanya Umat Pilihan. Yang merasa yakin betul kiamat akan datang di bulan ini. Saya yakin, pasti ada dalang menyesatkan di balik isu kelompok Umat Pilihan. Dalang itulah yang membantu Sisca mempengaruhi jalan pikiran Ringgo. Yang perlu dicegah bukan hanya tindakan Sisca, namun lebih cenderung pada tindak pcnyesatan umat itu. Saya sudah tahu siapa dalangnya." "Kalau begitu, tolong lumpuhkan dia, supaya Ringgo sadar dan kembali padaku, Kumala...." Tante Firda memohon-mohon sekali . Kumala hanya tersenyum kalem. Namun bukan berarti menyanggupi keinginan tamunya. Ia hanya ingin menenangkan tamunya. 0o-dw-234-o0 3 KELOMPOK yang menamakan diri Umat Pilihan, disinyalir sebagai sekte aliran sesat yang sedang merekrut anggota sebanyak-banyaknya. Dugaan Sandhi tidak salah, kelompok tersebut adalah para pengikutnya lelaki tua yang akrab dipanggil Opa. Pria jangkung itulah pimpinan mereka yang selalu meyakinkan tiap orang bahwa sebentar lagi bumi akan hancur, kiamat akan tiba. Mereka dihimbau untuk menjadi pengikutnya jika ingin selamat dan hidup abadi pada saat kehancuran bumi tiba. Kumala masih ingat pesan Dewa Argon sebelum dewa romantis itu kembali ke Kahyangan setelah membantu Kumala melumpuhkan awan beracun, tiga hari yang lalu. "Lokapura mengirim utusan ke bumi, entah siapa. Waspadalah dengan ancaman itu, Dewi." "Kenapa bukan Lokapura sendiri sih vang muncul kebumi? Aku jadi nggak sabar ingin segera berhadapan dengannya, walau pun nggak harus perang. Mungkin bisa adakan perundingan damai dengannya." "Tidak mungkin Lokapura turun sekarang, Dewi." "Lho, memangaya kenapa?" "Lokapura sedang menunggu kelahiran anak andalannya." "Anak andalan? Maksudnya bagaimana tuh?" "Anak itu akan lahir dari selirmas Lokapura yang bernama Auro. Kelak anak itu akan menjadi anak paling sakti di antara anak-anaknya Lokapura, bahkan bisa jadi lebih sakti dari Lokapura sendiri." "Kenapa begitu?" "Karena Auro anak dari Penghulu Ibiis yang bernama Bahoddam. Bahoddam terkenal sakti. Sebelum ia lenyap selamanya, dia sudah berjanji akan mewariskan seluruh kesaktiannya kepada cucunya yang berdarah hitam. Cucu berdarah hitam diperoleh apabila Auro menikah dengan Lokapura. Auro wanita yang hanya punya kesempatan satu kali hamil dan beranak. Kehamilannya tidak cukup hanya 9 bulan, tapi sembilan tahun menurut perhitungan tahun bumi. Dan, sekarang Auro sudah waktunya melahirkan bayi yang dikan- dungnyaitu." Argon kembali ke Kahyangan setelah sukses membantu Kumala melumpuhkan awan beracun. Dan, yang paling diingat oleh Kumala saat ini adalah pesan Argon agar waspada kepada utusannya Lokapura yang dikirim ke bumi. Naluri Kumala mengatakan, bahwa utusan Lokapura sangat mengetahui apa saja yang akan dan telah dilakukan oleh Lokapura. Tentunya utusan itu juga berbekal kesaktian yang tidak bisa dianggap ringan. "Buron, coba selidiki siapa sebenarnya lelaki tua yang disebut sebagai Opa itu," perintah Kumala kepada Buron. Waktu itu, Tante Firda sudah pulang, dan Niko belum datang. " Baru saja kubicarakan dengan Sandhi, kemungkinan besar Opa bukan manusia biasa dan..." "Berangkatlah sekarang juga!" Claaaap...! Buron berubah menjadi seberkas cahaya kuning yang menyerupai meteor. Cahaya kuning kecil berekor itu melesat menembus atap rumah tanpa suara apapun. Beberapa saat kemudian barulah Niko tiba di rumah Kumala. Ia datang sendirian dengan wajah memendam ketegangan. la iangsung menemui Kumala yang sedang berada di dapur bersama Mak Bariah, membantu pelayannya menangani masalah dapur. "Dewi, ada kabar buruk tentang..." "Ya, aku sudah dengar dari Sandhi." "Bukan hanya itu saja, Dewi. Ada yang lebih gawat lagi" "Okey, tapi jangan sekarang. Pergilah ke ruang makan. Duduklah di sana, dan tunggu aku beberapa saat. Aku nggak mau pekerjaan dapurku terganggu " "Tapi, Dewi..." "Please...!" Kumala memohon dengan senyum dan kesabaran. Niko tak mampu mengeraskan hatinya lagi, ia terpaksa bergegas pergi dari dapur dan duduk di ruang niakan ditemani Sandhi. Beberapa saat kemudian Kumala datang, menghidangkan mie goreng buatannya, dibantu oleh Male Bariah dalam menyiapkannya. "Okey, sekarang bicaralah, tapi... cicipi dulu masakanku ini." "Aku bicara dulu baru cicipi masakanmu. Atau, bicara sambil mencicipi masakanmu?" Kumala tertawa kecil. "Okey-lah..." "Korban bertambah. Sekarang, berita terakhir kudapatkan dari temanku yang menjadi pengikut Opa, katanya sudah ada enam orang yang tewas secara misterius. Umumnya mereka habis terlibat adu debat dengan Opa, dan kematian mereka sangat mendadak " "Aku sudah suruh Buron untuk selidiki siapa sebenarnya Opa. Sebab, ada kemungkinan dia utusannya si Lokapura dengan satu misi khusus yang belum tersimpulkan dengan jelas." "Pantas kalau begitu," suara Niko seperti menggumam. Sandhi menimpali, "Apanya yang pantas " "Dia mampu membuat semua mobil atau motor yang diparkir di depan rumahnya menjadi mogok, nggak bisa dihidupkan mesinnya. Hal itu membuat mereka yang ingin pergi meninggalkan dia jadi batal lantaran kendaraannya nggak bisa dipakai." "Siapa temanmu yang menjadi pengikutnya itu?" tanya Kumala. "Danny. Dia ingin keluar dari kelompok itu tapi terkesan dihalang-halangi oleh kekuatan gaib yang membuatnya ragu-ragu terus. Opa ingin membawa mereka ke suatu tempat, semacam pondok yang ada di pinggiran kota. Konon, mereka akan dikukuhkan sebagai Umat Pilihan dan akan diselamatkan pada saat kiamat tiba nanti." "Sudah berapa banyak pengikutnya?" tanya Sandhi. "Mencapai puluhan, tapi belum ada 50 orang. Belum sampai sebanyak itu. Danny lebih tahu soal itu." "Jumlah itu akan semakin bertambah kalau tidak segera dicegah," kata Kumala tetap kalem, sambil menikmati mie goreng buatannya la memang selalu tampak tenang selama deteksi gaibnya menunjukkan kondisi yang belum terlalu parah. Itulah sebabnya ia tugaskan Buron bukan turun tangan sendiri, karena ia merasa kasus tersebut belum membahayakan seluruh jiwa manusia. Namun, kadang perhitungan logikanya memang meleset. Walau tak terlalu jauh melesetnya Jika lawannya pandai menyembunyikan potensi yang dimiliki, deteksi gaib Kumala sering salah persepsi. Oleh sebab itu, dia menugaskan Buron datang ke sana, menjaga kalau sampai deteksi gaibnya kurang tepat pada sasaran. Sebagai jelmaan dari Jin Layon, Buron punya banyak akal dan kesaktian dalam menghadapi masalah- masalah yang bersifat mistik. Ia dapat merubah penampilannya dari pemuda berambut kucai menjadi pemuda berwajah tampan, atau yang sejenisnya lagi. Namun agaknya kali ini Buron merasa belum memerlukan suatu penyamaran semacam itu. Ia memposisikan dirinya sebagai penyusup yang bisa berada di tengah-tengah para pengikut Umat Pilihan itu. "Mau ke mana kita ini, Mas?" tanya Buron sok akrab kepada salah seorang lelaki yang baru keluar dari rumah Opa. Mereka tampak bersiap-siap untuk melakukan perjalanan, dan sedang berkumpul di halaman rumah berdinding abu-abu itu. "Lho, tadi kan Opa sudah bilang kalau kita mau dipindahkan ke pondok. Di sana kita dapat pengukuhan sebagai Umat Pilihan. Apa situ tadi nggak dengar Opa kasih wejangan begitu?" "Tadi aku lagi ke toilet, kali. Jadi nggak dengar semua." "Makanya kalau Opa lagi kasih wejangan, jangan bergeser dari tempatmu sekejap pun. Penting itu!" "Iya, ya...," Buron cengar-cengir sambil garuk- garuk kepala. Agaknya yang diajak bicara itu orang yang masih setia menjadi pengikut Opa dan sangat percaya dengan apapun yang dikatakan Opa. Lama-lama Buron menemukan satu kejanggalan. Mereka akan pergi ke suatu tempat, tapi mengapa mereka tidak segera pergi. Mereka berkumpul di halaman itu, seperti menunggu jemputan. Sementara semua kendaraan mereka tidak ada yang digunakan. Timbu! pertanyaan di hati Buron, mungkinkah Opa sudah menyiapkan mobil jemputan untuk mengangkut mereka yang jumlahnya sekitar 30 orang itu? Tak berapa lama kemudian Opa muncul dari dalam rumah. Semua pengikutnya bersiap-siap menghadap dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh lelaki tua itu. "Bikin satu lingkaran dan berkumpullah menjadi satu!" perintah Opa dengan suara tua yang masih berwibawa. Maka, mereka segera membentuk lingkaran besar. Beberapa orang bergandengan tangan dan membentuk lingkaran, sisanya berada di tengah, di dalam lingkaran. Termasuk Buron yang sejak tadi sangat berhati-hati dalam melemparkan pandangan matanya ke arah Opa. Ia takut keberadaannya diketahui oleh Opa sebagai penyusup. Sebab menurutnya, jika memang Opa orang berilmu maka ia dapat merasakan getaran gelombang gaib dari tempat lain. Mungkin juga dapat mengenali jenis gelombang gaib jin yang dimilikinya. "Aku harus mengosongkan diri," pikir Buron: "Kalau jalur gaibku nggak kututup, dia dapat menangkap gelombang gaibku. Tapi kalau jalur gaib kututup, aku nggak bisa merasakan getaran gaib lain yang seharusnya kukenali tingkatannya. Hmm, gimana enaknya?" Setelah berpikir sejenak, Buron pun berpendapat dalam hatinya. "Okey, kututup sementara saja, sampai kutemukan titik-titik kejanggalan yang perlu kuselidiki, baru kubuka kembali jalur gaibku buat menembus titik kejanggalan itu." Salah seorang berseru, "Kami sudah siap, Opa." "Baik. Sekarang... pejamkan mata kalian. Jangan ada yang coba-coba buka mata sedikitpun. Bisa buta mata kalian kalau berani buka mata sedikit saja." Perintah itu sangat dipatuhi. Mereka memejamkan mata dengan kepala tertunduk. Tapi Buron sengaja buka mata sedikit tanpa takut ancaman buta seperti yang dikataikan Opa tadi. Ia ingin tahu apayang teijadi saat itu sebenarnya. Tampak kedua tangan Opa sedikit terangkat, hanya sebatas pinggang. Tak terlalu tinggi. Tapi pada saat itu juga dari dalam tanah seperti muncul bias cahaya putih. Terang dan makin lebar. Makin menyilaukan. Claaaap...! Mata Buron perih seketika. Jalur gaibnya dibuka untuk menetralisir rasa perih itu. Zzzzub...! Tiba-tiba cahaya putih menyilaukan itu padam seketika. Buron kembali menutup jalur gaibnya. Ia hanya merasakan hembusan angin menjadi lebih seiuk ketimbang sebelumnya. "Benar juga kata dia tadi, ada yang berani melek sedikit aja, bisa langsung buta matanya!" pikir Buron sebelum mendengar aba-aba dari Opa yang ditujukan untuk para pengikutnya itu. "Ya, cukup. .! Buka mata kalian!" Semua membuka mata. Semua saling tercengang. Mereka memandang ke sana-sini dengan kebingungan. Ternyata mereka sudah bukan berada di depan rumah berdinding abu-abu lagi. Mereka sudah berada di tempat lain. Di pinggiran kota. Banyak pepohonan. Ada bangunan rumah seperti pondok berukuran panjang. Halamannya sangat luas. Pohon bambu betjajar di salah satu sisi. Terdengar suara arus air deras. Tak salah dugaan mereka, di bawah pepohonan bambu itu terdapat aliran arus sungai. Mereka baru menyadari bahwa mereka telah dibawa Opa ke pondok yang disebut-sebut sebagai pondok Umat Pilihan. Mereka telah dipindahkan secara gaib. Hal itu membuat hati mereka semakin percaya bahwa Opa memang sang penyelamat yang mereka dambakan. Kesaktian Opa merupakan jaminan akan kebenaran seluruh ucapannya, terutama mengenai datangnya kiamat dalam waktu dekat ini. "Boleh juga atraksinya," gumam hati Buron menanggapi keajaiban tersebut. Namun ia tetap bersikap lowprofile, bahkan cenderung berlaga bego. "Opa," seru salah seorang. "... apa yang akan kami lakukan di pondok ini selain pengukuhan? Apakah kami habis itu boleh puiang ke rumah masing-masing?" "Untuk apa kamu pulang ke rumah ? Kamu mengikuti aku berarti kamu sudah rela meninggalkan segala harta milikmu, termasuk rumahmu. Bahkan saudara atau keluargamu yang tidak mau ikut bersamamu harus kamu relakan juga! Untuk apa kembali ke rumah?!" "Hmm, maksud saya..." "Kamu cari selamat apa cari mampus?!' "Cari selamat, Opa." "Kalau cari selamat, tetaplah bersamaku! Kamu calon Umat Pilihan yang tidak peduli lagi dengan hal- hal duniawi! Paham?!" "Hmm, iya... paham, Opa!" "Sekarang, semua masuk ke balai agung .. ruangan yan gada di tengah dalam sana! Tapi tunggu, tunggu...!" cegah Opa membuat mereka yang mau bergerak tidak jadi bergerak, semua mernperhatikan Opa. Masingmasing bertariya dalam hati, ada apa dan mengapa harus menunggu? "Ada yang tidak beres di antara kalian!" Mereka saling pandang satu dengan yang lain, seakan saling menyimpan kecurigaan. Salah seorang berseru kepada Opa. "Tidak beres bagaimana, Opa? Siapa yang tidak beres itu?" "Aku mencium bau jin di antara kalian!" Buron tersentak dalam hati, "Waduh, mati aku! Ketahuan deh" Opa masih berdiri di lantai teras yang memiliki anak tangga tiga baris. Dari tempatnya berdiri ia memandang ke setiap orang dengan tatapan mata tajamnya. Buron berusaha berlindung di balik punggung seorang perempuan gemuk yang takut mati itu. Tapi agaknya Opa mencari bukan dengan mata, namun dengan penciumannya. Barangkali karena radar gaibnya tidak mampu mendeteksi gelombang gaibnya Buron, maka ia rnenggunakan penciumannya. Dan, ternyata orang tua itu hapal betul dengan bau khas keringat jin. "Hey, kamu yang pake kaos merah itu! Kemari kau...! Hey:..!" Buron makin mengkerut. "Waduh... gelombang gaib bisa kusembunyikan. Dia mengenali bau keringat asliku? Celaka!" Semua orang jadi memandang Buron. Yang merasa dekat dengan Buron segera menyingkir, karena Opa sedang menghampiri dengan mata memandang tajam, menandakan kegeraman amarahnya. Menyadari hal itu Buron merasa tidak bisa mengelak lagi, tidak bisa menutupi dirinya lagi, maka ia kembali membuka jalur gaibnya. "Sudah terlanjur kepergok begini, ngapain harus menutup jalur gaibku. Di-on-kan lagi aja! Kepalang tanggung, ah!" Buron menarik napas dalam-dalam. Ia tidak bergeser dari tempatnya. Ia terkesan siap menghadapi kedatangan Op^ Dari wajahnya tidak terlihat rasa takut sedikit pun. Bahkan cenderung santai. "Apa yang kau lakukan di sini, hay anak jin?!" Suara tua itu menggeram setelah berhenti melangkah dalam jarak sekitar 10 meter dari tempat Buron berdiri. "Kau telah memasuki wilayahku, tahu?!" sentak Opa lagi. Buron tersenyum kalem. Ngeselin. "Yang memasuki wilayah siapa? Kau atau aku, Paktua?!" "Kau!" "Aku sudah lebih dulu ada di bumi ini, dan kau baru saja datang karena ingin menyesatkan pikiran manusia, bukan?!" "Tutup mulutmu! Aku ini dewa dari Kahyangan!" "Dewa...?! Oh, ya...?!" sikap Buron makin mengesalkan lawannya. "Dewa cap apa kamu? Setahuku nggak ada dewa strukturnya kayak kamu." "Aku Dewa Chong...! Chonggunata, penguasa binatang buas!" "Emang ada apa dewa namanya Chonggunata? Kayaknya nggak ada deh " "Tentu saja kamu tidak tahu karena kamu bukan penghuni Kahyangan!" "Dewa gadungan kali luh...," ledek Buron sambil cengar-cengir. Orang-orang yang ada di sekitar situ merasa heran melihat Buron tidak ada takutnya sedikit pun berhadapan dengan Opa. Di pihak lain, Opa semakin berang mendengar kata-kata Buron. Ia merasa dilecehkan di depan orang-orang yang mengagungkan dirinya. "Mulutmu memang harus dibrangus, Anak jin! hiiihh...!" Wuusst...! Opa seperti melemparkan piring ke aruh Buron. Yang keluar dari lemparannya hanya percikan cahaya merah pendek. Tapi tiba-tiba Buron tersentak mundur dan tak mampu berteriak. Ia tak bisa mengeluarkan suara apapun, karena mulutnya hilang. Lubang mulut termasuk bibimya menjadi rata dengan kulit daging-pipinya. "Halih.. .?! Tuh anak mulutnya hilang?!" cetus salah satu dari mereka dengan mata terbelalak. Mereka pun semakin takut dan menjauhi Opa Sementara Buron berusaha meraba mulutnya dan tampak bingung setelah mengetahui dirinya tidak bermulut lagi. Wuut, wuuuut...! Buron mengibaskan kedua tangannya seperti orang menari Kibasan kedua tangan mengeluarkan asap kuning yang menyembur ke wajah Opa. Tapi dengan satu kali tiupan mulut, asap kuning itu pudar dan lenyap tanpa meninggalkan akibat apapun pada diri Opa. Hanya saja, dedaunan yang ada di atas mereka berguguran dan jatuh ke tanah dalam keadaan menjadi kering'. Orang-orangyang melihat kejadian itu terperangah lagi "Gila! Asap kuning tadi bisa bikin daun rontok dan kering seketika?! Wah, walau kena muka Opa gimana tuh tadi ya?!" ujar salah seorang dengan bulu kuduk merinding. Tiba-tiba dari tangan kanan Opa keluar semacam paku baja berukuran satu kelingking panjangnya. jumlahnya sangat banyak. Zraaak! Paku-paku itu menerjang Buron. Titik sasaran dada Buron. Tapi dengan cepat Buron berubah menjadi cahaya kuning. Claaap..! Tak peduli disaksikan orang banyak, Buron melesat ke atas sehingga paku-paku itu lolos tak mengenai dirinya, namun menancap di beberapa pohon. Pohon-pohon yang terkena paku itu tiba-tiba mengkerut, layu, kemudian kering. Dalam hitungan detik pohon- pohon itu tampak jelas menjadi keropos dan rapuh . Sekali lagi para pengikut Opa tercengang melihat kesaktian Opa yang mampu membuat pohon segar menjadi rapuh dalam waktu sekejap. Namun mereka juga kagum melihat Buron bisa berubah menjadi cahaya kuning seperti meteor kecil. Ada yang kagum ada yang ketakutan. Ternyata Opa tidak hanya memiliki kesaktian sampai di situ saja. Sinar kuningnya Buron dikejar dengan cara merubah did menjadi sinar meraK sebesar telur burung. Sinar merah itu memercik-mercikkan bunga api, dan memburu sinar kuning. Di udara mereka bertabrakan. Blegaaaaarrr...! Ledakan yang terjadi akibat tabrakannya dua sinar tadi membuat pohon sekitar mereka bergetar. Tanah juga bergetar. Mereka berlarian mencari tempat aman karena menyangka akan terjadi gempa. Suasana menjadi kacau. Namun hanya beberapa saat saja. Suasana kacau reda kembali setelah kedua sinar tadi berubah menjadi Opa dan Buron. Hanya saja keadaan Biiron lebih menyedihkan, namun juga ada segi menguntungkannya. Buron terpental cukup jauh. Membentur batang pohon besar. Terpuruk di sana dajam keadaan sekujur tubuhnya tersayat-sayat, seperti habis dicabik-cabik dengan kuku-kuku tajam. Dari wajah sampai kaki mengalami luka cabikan. Tapi keadaan mulutnya yang tadi merapat dan hilang, kini sudah muncul kembali. Normal seperti semula. Hanya saja dengan keadaan bibir berdarah seperti habis kena cakar. Sementara Opa terpental tak seberapa jauh, dan mendaratkan kakinya di atas tanah dengan tegak. Hanya separoh wajahnya yang tampak memar. "Pergi kau dari sini!" sentak Opa, suaranya berubah serak dan besar. Menyeramkan. Tapi Buron tidak merasa gentar sedikitpun. la bangkit dengan menyeringai menahan sakit di sekujur tubuhnya. Lalu, mengambil sikap ingin menyerang lagi. Sebelum Buron banyak bergerak, Opa segera melompat dalam posisi tengkurap, melayang cukup jauh jaraknya, dan dalam perjalanan melayang ke arah Buron itulah ia berubah menjadi seekor harimau. Blaaab...! "Gggrroooww...!!" Harimau loreng itu mengaum. Ukurannya yang besar membuat suaranya menggema ke mana-mana. Buron sempat terkejut melihatnya Namun lagi-lagi ia harus meloloskan diri dari ancaman maut dengan cara melesat dan berubah menjadi cahaya kuning mirip meteor kecil. Claap,wuuus...! Tahu-tahu ia sudah berada di tempat lain, jauh dari tempatnya semula. Harimau loreng itu membentur pohon. Bruusk! Namun dalam sekejap ia sudah berbalik arah. Matanya yang merah nanar mencari mangsanya dengan liar. Ketika dilihatnya Buron sudah berada di tempat lain, harimau itu melayang bagaikan terbang. "Grrraaaaaooowww...!!!" Buron sempat berpikir, "Kalau gue keluarin jati diri gue, wah... orang segini banyak bisa pingsan semua?! Salah-salah ada yang mati terinjak kakiku nanti. Jangan! Kuhantam saja pakai aji Tapak Siluman...!" Claaap...! Buron keluarkan cahaya menyerupai petir berlarik-larik banyaknya. Cahaya kuning itu menghantam tubuh harimau yang sedang melayang. Blaaam...! Tapi justru harimau itu sekarang menjadi ada dua ekor, sama bentuk dan ukurannya. Buron terkejut, dan segera menghindar dari tempatnya. Oh, ternyata sebelum dua ekor harimau itu menyentuhkan kakinya ke tanah, sudah muncul lagi dua ekor harimau baru yang berlawanan arah dengan keduanya tadi. Dua ekor harimau itu seakan-akan keluar dari bagian pantat dan segera menyerang Buron bersamaan. "Grrraaaoww...!! Gggrrrrrrhh...!" Buron keteter menghadapi lawannya. Karena kedua harimau baru itu bukan hanya menyerang secara fisik, tapi juga mengeluarkan sinar merah dari masing-masing matanya. Sinar merah itu membuat Buron semakin kebingungan. Akhirnya dia adu dengan sinar jingga yang keluar dari matanya dan kedua lubang hidungnya. Claaaap...! . Jegaaar, bleeegaaarrr...!! Ledakan dahsyat itu melemparkan Buron dengan kuat, membentur pohon dan membuat pohon itu retak, bagaikan mau terbefah secara vertikal. Sementara pohon lainnya ada yang tumbang, ada yang hanya patah dahannya. Orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu ada yang terluka dan patah kakinya karena tertimpa patahan dahan. Sedangkan dua ekor harimau yang mengeluarkan sinan merah tadi lenyap tinggal yang pertama. Bahkan seekor lagi juga ikut lenyap. Jadi yang tersisa adalah harimau jelmaan Opa. Bagaimana keadaan Buron? Parah. "Aduuuh, kepalaku retak kali nih! Yaa, ampuun bocor...," ia meraba darah yang mengucur dan meleleh membasahi pipinya. ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== "Ilmunya tinggi. Aku nggak mampu menahan serangannya. Dadaku terasa jebol sampai ke belakang. Gawat! Aku harus segera temui Kumala, lukaku... ooohh, lukaku mengandung racun, sepertinya. Badanku panas sekali?!" Sebelum harimau jelmaan Opa menyerang lagi, Buron sudah berubah menjadi cahaya kuning lagi, lalu lenyap dalam kecepatan tinggi. Ia merasa akan hancur jika tetap bertahan menghadapi kesaktian Opa. Dan, ia tak ingin mati konyol akibat kebodohannya. Tak peduli apa kata lawannya nanti, yang penting ia harus menghindar secepatnya. "Dia bukan tandinganku...!" tegasnya dalam hati. Sportif. Kumala Dewi sedang bicara dengan Niko dan Sandhi di ruang makan. Tahu-tahu mereka dikejutkan oleh suara gaduh dari atas seperti suara atap rumah yang rubuh. Niko dan Sandhi terlonjak dari tempat duduknya. Kumala tetap tenang hanya sedikit berkerut dahi. Namun ia tetap bangkit dan agak mundur dari kursinva. Tak lama kemudian sebuah benda jatuh tepat di atas meja makan setelah sekilat tampak cahaya kuning datang dari atas. Gebraaaak, praaang...! "Astaga...?! Burooon?!" pekik Niko karena sangat terkejut melihat keadaan Buron penuh luka menyedihkan. "Kumala...dia...!" "Tenang, aku tahu dia terluka," kata Kumala memotong ucapan Sandhi. Saat itu Buron setengah pingsan, masih bisa mengerang namun sulit mengangkat badan dan kepalanya. "Hmmm, lukanya beracun. Sangat bahaya," gumam Kumala, kemudian segera melakukan gerakan seperti menaburkan bunga. Yang keluar dari tangannya adalah percikan cahaya hijau bening, seperti percikan bunga api yang indah. Cahaya itu menaburi sekujur tubuh Buron. Tubuh itu mengeluarkan asap pada setiap lukanya. Namun beberapa saat kemudian tiap luka tampak mengering. Bahkan merapat dan akhimya semua luka cabikan itu kembali pulih seperti sediakala, kecuali pakaian Buron yang masih tetap tercabik-cabik tak karuan. Pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Buron adalah apa yang membuatnya penasaran dalam hati. "Emang ada, dewa yang namanya Dewa Chong?" "Yang ada Dewa Chonggunata." "Ada?! Dewa apa tuh?" "Dewa Chonggunata adalah dewa penguasa binatang buas, sejenis harimau, singa dan sebagainya." Buron menepak jidatnya sendiri. Plaak...! "Mati aku!" "Memangnya kenapa?" tanya Sandhi jadi penasaran. "Aku habis tarung dengan Dewa Chong." "Kau gila, apa?! Dewa dilawan?!" kecam Sandhi. Kumala berkata, "Dewa Chonggunata adalah suami dari bibiku; Dewi Anggraini. Dia adik tiri ibuku. Berarti Dewa Chonggunata adalah pamanku. Kenapa kamu sampai bertarung melawan beliau?" "Dia adalah Opa!" "Hahh...?!" semua terkejut. "Dewa Chong menjelma menjadi Opa, pemimpin sekte Umat Pilihan itu!" Kumala Dewi tertegun, tak habis pikir kenapa pamannya sendiri menjadi penyebar berita tentang kedatangan kiamat? Kenapa pamannya menjadi pihak yang dicurigai beraliran sesat? 0o-dw-234-o0 4 DENGAN kepala dingin dan emosi tenang, Kumala mendatangi pondok Umat Pilihan. Tentu saja Buron sebagai pemandunya. Mereka hanya berdua. Sandhi tidak ikut. Mereka tidak menggunakan mobil, tapi menggunakan jalur gaib. Tidak ada orang yang tahu bahwa Kumala dan Buron pergi ke pondok itu, karena keberadaan mereka tertutupi lapisan jalur gaib. Setibanya di sana, Buron diam terbengong Ia tampak bingung, juga memendam rasa kesal dalam hatinya. "Di mana pondok itu berada, Ron?" "Ya, disini" "Yang benar dong Di sini mana? Cuma pohon bambu dan belukar yafig ada. Pohon rambutan, pohon sawo dan... ini kebun kosong!" "Hmm, eeh... iya sih, kebun kosong." Buron benar-benar sulit bicara, karena di situ mereka tidak menemukan bangunan serba kayu jati yang panjang dan berhalaman luas. Tidak ada teras beranak tangga tiga baris, dan tidak ada pohon yang terbelah atau pun tumbang. Tapi pepohonan bambu yang tumbuh di tanggul sungai memang ada Jalanan berbatu menuju jalan raya juga ada. Pohon rambutan yang terbelah vertikal juga masih ada, bahkan masih utuh. Tidak ada tanda-tanda tempat itu pernah didatangi sekelompok orang yang menjadi pengikut Opa. "Sialan!" geram Buron. "Rupanya dia lebih dulu memindahkan pondok dan pengikutnya ke tempat lain!" "Tapi kamu yakin memang di sinilah tadi kamu bertarung dengan Dewa Chong?" "Yakin sekali!" tegas Buron. "Ciri-ciri alam sekelilingnya masih kukenali. Rumah di seberang sana juga tadi kulihat ada. Posisi pondok itu bersimpangan jalan batu dengan rumah yang ada di sana, yang kelihatan bagian belakangnya itu, Kumala." "Hmm, ya, ya, ya...," Kumala Dewi manggut- manggut sambil memandang ke sana-sini. "Kamu tertipu oleh pandangan gaibnya Atau dia kabur lebih dulu sebelum aku datang kemari! Mungkin dia tahu kalau kamu akan mengadu padaku dan aku akan kemari." Buron melacak dengan radar gaibnya. Begitu juga Kumala. Tapi mereka tidak menemukan jejak gaib di sekitar tempat itu. Mereka sulit menemukan ke mana arah kepergian Opa bersama para pengikutnya itu. "Atau...," kata Kumala, "... mereka memang dipindahkan oleh Opa ke alam gaib?" "Kalau begitu aku akan mencarinya di alam gaib!" "Tunggu, sebentar!" sergah Kumala, membuat Buron batal merubah dirinya menjadi sinar kuning. "Ada apa?" tanya Buron. Kumala menggelengkan kepala, seperti ada sesuatu yang ingin didengarnya. Sesuatu itu jaraknya terlalu jauh, hingga hanya terdengar samar-samar. Itulah sebabnva ia bungkam tak menjawab pertanyaan Buron, dan Buron sendiri segera diam karena tahu ada suara yang ingin dijangkau oleh pendengaran batin Kumala. "Ada yang memanggilku," kini Kumala berbisik. Buron mencoba mempertajam pendengarannya tapi masih belum menangkap apa-apa. Pelan-pelan kaki Kumala melangkah mendekati rumpun bambu. Buron mengikuti dalam jarak cukup dekat. Di bawah rumpun bambu ada lereng tebing pendek berakhir pada aliran sungai. Buron memandang ke arah permukaan air sungai yang coklat ke kuningkuningan. Tapi arah pandangan mata Kumala tidak tertuju ke sungai, melainkan ke semak akar bambu. Buron jadi ikut-ikutan memandang ke situ juga. "Nyaiii. .Nyaiii.." Buron dan Kumala saling beradu pandang. "Kamu dengar suara itu?" "Ya, sekarang aku dengar. Ada yang memanggil Nyai. Apakah kamu yang dipanggil?" "Menurutmu, apakah kamu pantas dipanggil Nyai?" "O, iya, ya... goblok amat gue ini!" "Udah lama gobloknya...," sahut Kumala lalu tidak mempedulikan Buron lagi. Ia melangkah pelan-pelan mendekati arah datangnya suara. "Awas!" sergah Buron. Refleks tangannva langsung mencekal pundak Kumala supaya langkah kaki Kumala terhenti. "Kenapa?" "Ada ular besar tuh!" "Aku tahu. Kenapa kamu? Takut?" "Hati-hati, kamu nanti dimakan ular besar itu!" "Kamu tahu, aku siapa? Dewi Kebo?" "Dewi Ul... oo, iya. ... kamu Dewi Ular, ya? Kenapa aku jadi khawatirkan dirimu? Itu kan anak buahmu yang melingkar di sana!" Buron tertawa sendiri, cengar-cengir malu. Seekor ular besar melingkar di antara akar bambu. Ular itu berwarna coklat dengan tepian perut berwarna kuning. Besarnya seukuran betis orang dewasa. Panjangnya sekitar 7 meter. Pada bagian ekornya tampak tertindih bongkahan batu sebesar satu kepal tangan orang dewasa. Namun, justru akibat tertindih batu yang tak seberapa itulah sang ular tidak dapat bergerak Seperti tertindih batu sebesar gajah. Aneh sekali. "Nyaii .. tolonglah aku,'' pinta suara ular tersebut. Hanya pendengaran batin yang dapat menangkap suara ular itu seperti suara perempuan. Berarti ular tersebut adalah ular betina. "Cuma ketindihan batu sekecil itu dia nggak bisa bergerak? Kok bego amat dia, ya?" bisik Buron. "Kamu yang bego. Batu itu pasti bukan sembarang batu. Coba kamu yang angkat batu itu, kalau bisa... jago!" Benar juga. Buron mencoba mengangkat dengan tangan satu, ternyata tidak kuat. Dengan tangan dua, juga tidak kuat. la kerahkan tenaga gaibnya untuk mengangkat batu yang menindih ekor ular, ternyata tetap tidak kuat. Padahal ukuran batu relatif kecil untuk seekor ular yang besarnya satu betis orang dewasa itu. "Bisa, Ron?" Sambil nyengir malu Buron menggeleng. Kumala Dewi diam sesaat, kemudian dengan menggunakan dua jari dan tanpa tenaga batu itu ditepisnya. Pluuk. . .! Batu itu terpental sejauh tiga meter. Ekor ular pun bebas dari himpitan batu berkekuatan sangat besar. "Terima kasih, Nyai Dewi," kata ular betina itu. "Siapa yang melakukan hal ini padamu?" "Dewa Chong, Nyai." Tersentak hati Kumaja mendengar jawaban itu. Buron hanya menggumam dan manggut-manggut. Setidaknya ia merasa lega karena ada"bukti lain yang mengetahui bahwa ada pihak yang mengaku sebagai Dewa Chong di tempat itu. "Apakah yang kau maksud adalah leiaki tua berbadan jangkung dan akrab dipanggil sebagai Opa?" "Benar, Nyai. Dia berubah menjadi harimau ketika hendak membawa pergi para pengikutnya Harimau itu mengetahui keberadaanku di sini dan dia menyerangku. Aku berusaha melawannya sebisa-bisaku, akhirnya ia menindihkan dengan batu itu tndi " "Sekarang di mana dia ! " "Membawa pergi para pengikutnya. Nyai ." "Ke mana? Kau tahu7" "Dengar-dengar dia mau membawa pengikutnya ke Kahyangan." Sekali lagi Kumala Dewi dan jelmaan jin Layon itu saling beradu pandang. Heran dan agak kagrt mendengar jawaban ular tadi. "Ke Kahyangan?!" gumam Buron. "Nggak semudah itu membawa manusia ke Kahyangan. Apa kamu nggak salah dengar, Sobatku yang cantik?" Ular betina itu menjawab, "Tidak, aku tidak salah dengar. Aku mendengar dengan jelas bahwa Dewa Chong akan membawa para pengikutnya pindah ke Kahyangan Biar aman dari gangguan pihak mana pun Bangunan pondoknya pun dibawanya ke Kahyangan juga, Nyai." Kumala Dewi tertegun sebentar. Berpikir. "Semudah itukah paman Dewa Chonggunata membawa manusia masuk Kahyangan? Hmm, kalau toh benar begitu, pasti beliau punya alasan yang kuat. Kalau memang pihak Kahyangan menerima aku bisa komplein kepada para penguasa Kahyangan, mengapa dapat menerima kehadiran manusia dengan mudah? Sementara aku sendiri baru boleh diizinkan masuk Kahyangan kalau sudah mendapatkan cinta sejati. Aku harus menemui paman Dewa Ardhitaka selaku komandan pasukan perbatasan wilayah Kahyangan," Setelah berpamitan dengan ular betina itu, Kumala dan Buron pulang ke rumah. Kumala mempersiapkan diri untuk menghadap Dewa Ardhitaka, penjaga perbatasan wilayah Kahyangan. Tetapi baru saja Kumala dan Buron tiba di rumah, telepon telah menyambutnya. Telepon datang dari Tante Firda. "Kumala, aduuuh... aku sangat berterima kasih sekali atas bantuanmu, ya? Terima kasih banyak, Kumala..." "Hmm, iya... hmm, sama-sama, Tante." Kumalatampak bingung. "Kamu benar-benar hebat, seperti yang diceritakan orang-orang. Aku benar-benar kagum dan salut pada reputasimu, Kumala." "Hmm, iya... eeh, tapi... ucapan terima kasih Tante tadi untuk masalah apa nih? Saya jadi bingung sendiri." "Jangan berlagak bingung deh... Kan berkat bantuan Kumala sekarang Ringgo sudah balik." "Ringgo?!" "Iya, Ringgo meninggalkan kelompok Umat Pilihan dan dia memilih kembali ke rumahku. Sekarang dia ada bersamaku. Dia kelihatan kangen sekali sama aku lho," berderai tawa Tante Firda. Tergambar keceriaan hatinya saat itu. "Kapan dia pulangnya, Tante ? " "Tadi, pukul lima lewat dikit," jawabnya di sela tawa riang. Kumala Dewi melirik jam dindingnya yang menunjukkan pukul tujuh malam kurang. "Ya, syukurlah kalau Ringgo sudah piilang. Dia baikbaik saja kan, Tante?" "O, ya. Dia baik-baik saja. Sehat. Bahkan... hii, hii, hii... bahkan kelihatannya kangen sekali sama aku lho..." Tawa cekikikan Tante Firda masih belum habis meski pun ia sudah meletakkan gagang telepon Karena pada saat ia selesai bicara dengan Kumala dari telepon yang ada di dalam kamarnya, saat itu juga Ringgo muncul dari kamar mandi Ringgo baru selesai mandi dan hanya mengenakan celana dalam. Badannya tampak segar, dadanya bidang, dan semua itu mengundang keceriaan tersendiri di hati Tante Firda. Ia segera menyambut Ringgo yang sedang menggantungkan pakaiannya di tempat gantungan. "Sudah selesai mandinya, Sayang? Aku baru mau nyusul ke dalam kamar mandi, buat mandiin kamu." "Kelamaan mandi nggak baik buat Tante. Nanti keburu moodnya hilang," jawab Ringgo dengan senyum mendebarkan. la biarkan tangan Tante Firda merayapi dada dan pinggangnya. "Kamu benar, Ringgo. Kalau kelamaan ditinggal kamu, aku kehilangan gairah. Cuma kamu yang bisa membakar gairahku dan..." Tante Firda tidak bisa melanjutkan kata-katanya karena Ringgo segera mengecup bibirnya. Bibir itu bukan hanya dikecup tapi juga dilumat dan dinikmati dengan menggebu-gebu. Tante Firda membalas tak kalah ganas. Bahkan tangannya berhasil menyelusup ke dalam celana Ringgo, membuat celana itu pada akhirnya terlepas. "Ooh, Sayang... Oouuh, cumbu aku terus, aku sangat rinduu...!" ujarTante Firda di sela desah napas yang terputus-putus. Ia menggelinjang ketika Ringgo menyusuri leher dengan ciuman panasnya. Bahkan tangan Tante Firda membantu melepaskan gaunnya sehingga kini ia sudah seperti bayi baru lahir. Ringgo mendorongnya hingga punggung Tante Firda merapat di dinding samping meja rias. Di sana ciuman Ringgo mengganas ke arah dada, Tante Firda mengerang, memekik-mekik sambil meremas-remas kepala Ringgo penuh kegemasan. "Oooh, yaaah... teruskan, Sayang... teruskan...!" rengek Tante Firda seperti anak kecil. Ia menekan pundak Ringgo sehingga pemuda itu menjadi berlutut. Tentu saja sasaran ciumannya sudah bukan bibir atau dada lagi. Kaki kiri Tante Firda diletakkan di atas bangku rias, dan Ringgo semakin merendahkan badan. Ciumannya bertambah ganas dan rakus. Ciuman rakus itu sangat disukai oleh Tante Firda, sehingga tanpa berpikir panjang ia merintih, meraung, mengerang-erang sebagai lambang curahnya segunung kenikmatan yang membahagiakan hati. Tentu saja napasnya pun semakin terputus-putus dan tak menentu, karena sebentar-sebentar harus mendesah ditikam kenikmatan lidah Ringgo. Di kamar Tante Firda terjadi pergumulan mesra yang menghebohkan emosi cinta keduanya. Tapi di sisi lain pergumulan yang terjadi bukan atas dasar cinta dan birahi, namun karena perasaan heran dan kecurigaan. Pergumulan itu terjadi baik dalam hati Kumala maupun dalam perbincangannya dengan Buron dan Sandhi. "Masalahnya sekarang adalah, apakah benar Opa' membawa mereka ke Kahyangan, atau mengembalikan mereka ke rumah masing-masing?" Sandhi mengomentari persoalan yang diajukan Buron itu. "Yang perlu kita ketahui, apakah yang kembali ke rumah itu benar-benar Ringgo, atau sosok lain yang menyerupai Ringgo?" Agaknya pertanyaan Sandhi yang perlu direnungkan lebih dulu oleh Kumala. Tidak menutup kemungkinan orang yang kembali dari pondok Umat Pilihan itu adalah orang yang sudah kehilangan jati dirinya. Oleh karena itu Kumala perlu menghubungi Niko, karena Niko sempat mencatat beberapa nama-nama orang yang menjadi pengikut Opa, termasuk teman Niko yang bernama Danny. "Nik...," sapa Kumala melalui teleponnya. "Ya, kenapa?" "Kamu masih simpan nama-nama orang yang jadi pengikut Opa?" "Masih, tapi nggak lengkap." "Tapi ada alamat mereka?" "Sebagian ada.". "Kamu tahu rumah temanmu yang bernama Danny itu?" "Tahu. Dia dekat dengan rumah tanteku. Kenapa sih?" "Coba kamu cek kebenarannya, apakah dia sudah pulang ke rumah atau belum. Sebab, kudengar pengikut Opa ada yang sudah pulang. Maksudku..." "Siapa?" "Ringgo, cowoknya Tante Firda. Nah, coba kamu lihat apakah Danny juga sudah pulang ke rumah dan keadaannya baik-baik saja atau nggak " "Okey. Nanti aku hubungi kamu Aku memang sedang menuju ke rumah tanteku untuk ambil barang. Nanti kusempatkan mampir ke rumah Danny." Selesai bicara dengan Niko, telepon berdering kembali. Langsung saja Kumala yang menyambutnya. "Hallo... Ada apa, Nik?" "Aku, Lala. . . Bukan Niko." "Oohm Ray...? Sorry, kukira kamu Niko. Baru saja aku telepon Niko. Baru aja kututup. Kamu di mana, Ray?" Hati Kumala sempat berdesir indah. Rayo Pasca bukan orang jauh. Rayo Pasca adalah laki-laki yang selama ini mengisi hatinya. Tapi karena kesibukan masing-masing dalam karirnya, ia dan Rayo jadi jarang berkomunikasi. Hanya telepon saja yang kadang mempererat hati mereka, dan menjadi obat rindu selama ini. "Aku ada di rumah temanku: Hervan. Kamu bisa datang ke-sini, Lala? Aku butuh bantuanmu." "Hervan yang mana, Sayang? Yang punya toko buah?" "Benar. Kamu pernah kuajak datang ke rumahnya beberapa kali, kan? Masih ingat rumahnya?" "Ya, ya... masih dong, Sayang. Apa aku harus ke situ sekarang?" "Kalau bisa secepatnya, Lala. Ada kasus misteri di sini, menyangkut tentang adiknya yang bernama Sisca." "Sisca...?!" Kumala berkerut dahi mencoba mengenang apakah ia pemah bertemu adik Hervan atau hanya sekedar mendengar nama Sisca saja. Tapi belum sempat ia dapatkan ingatannya itu, Rayo sudah kembali bicara. "Istri Hervan tewas dibunuh Sisca. Jantungnya dimakan." "Apa...??!" "Pelayannya yang memergoki kejadian sadis itu. Untung dia sempat kabur, melarikan diri ketika Sisca menyantap jantung iparnya." "Gila?!" "Datanglah secepatnya, Lala. Aku yakin ini berkaitan dengan dunia mistik, karena menurut keterangan Hervan, Sisca sudah beberapa hari nggak pulang. Ia menjadi pengikut aliran Umat Pilihan. Dan, kabarnya baru tadi sore dia kembali di saat Hervan jalan- jalan dengan kedua anaknya. Istri Hervan sedang sakit, jadi nggak ikut jalan-jalan. Makanya..." "Iy, iya... iya aku kesana sekarang juga!" Kumala dengan kesan terburu-buru dan sedikit tegang Kini ia tahu bahwa Sisca yang dimaksud pasti Sisca yang diceritakan Tante Firda, yaitu mantan pacar Ringgo. Kali ini Kumala datang ke TKP bersama Sandhi, menggunakan mobil BMW-nya yang berwarna hijau giok. Jarak tempuh tidak terlalu lama, dan tempat sudah diketahui dengan jelas, jadi Kumala merasa tidak perlu menggunakan jalur gaibnya. Tiba di sana disambut oleh Rayo Pasca. Sebuah ciuman di pipi diberikan Rayo sebagai tanda kasih sayang sekedarnya. Lalu, Rayo membawa Kumala ke ruang tengah, tempat mayat istrinya Hervan sedang dibawa ke ambulance oleh pihak kepolisian. Kumala sempat melihat sebentar keadaan mayat itu. Robek dadanya. Ada bekas luka bakar lebar. Dan. . kehilangan jantungnya seperti yang dikatakan Rayo dalam telepon tadi. Lebih jelasnya lagi Kumala mendengar penuturan dari Sarmi, pelayan berusia 25 tahun, yang menyaksikan sendiri adegan sadis itu dilakukan oleh Sisca. "Saya tidak tahu awalnya, tapi saya dengar Non Sisca memaksa Nyonya untuk jadi pengikut Umat Pilihan. Nyonya tetap tidak mau. Terus... entah gimana, karena saya nggak berani dekat-dekat, saya mendengar suara Nyonya menjerit pendek. Saya curiga, tapi saya nggak berani melongok. Lama sekali suasana sepi. Saya makin penasaran. Lalu, saya pura-pura menaruh tempat sendok di meja makan sambil melirik apa yang terjadi di ruang tengah, dan saat itulah saya lihat jelas... jelas sekali!" Sarmi menangis lagi dengan bibir gemetaran. Kumala menenangkan dengan menyalurkan hawa murninya lewat kepala Sarmi. Lalu, ketika Sarmi tenang kembali, iapun melanjutkan penuturannya. "Saya lihat dengan jelas, Non Sisca merogoh sesuatu dari dalam tubuh Nyonya yang sudah terkapar di lantai tak bergerak sedikit pun. Dari dalam tubuh Nyonya, Non Sisca mengeluarkan sesuatu... daging apalah... saya nggak jelas, belum tahu kalau itu jantung... terus saya lihat, Non Sisca memakannya dengan tenang sekali, seperti tidak berdosa sedikit pun. Melihat kengerian itu saya hampir pingsan. Tapi saya kuatkan diri... saya coba keluar lewat pintu garasi, lari ke samping rumah, dan terus ke rumah tetangga... sampai di depan pintu rumah Tuan Budi itu, saya nggak kuat, lalu jatuh pingsan... Anaknya Tuan Budi yang tolong saya dan menyadarkan saya... Terus saya cerita sama mereka. Dan. . terus... mereka kemari, tapi Non Sisca sudah nggak ada. Terus... terus..." "Ya, udah... cukup, cukup...." potong Kumala, merasa kasihan pada Sarmi yang tampak shock sekali menghadapi peristiwa mengerikan itu. Bahkan menurut keterangan Rayo, tadi Sarmi tidak bisa bertutur selancar sekarang. Setelah mendapat usapan di kepala dari Kumala Dewi, Sarmi bicara lancar. Hawa murni yang disalurkan Kumala lewat tanganriya itu membuat Sarmi menjadi lebih tenang dari sebelumnya. Tentu saja semua orang yang mendengar penjelasan itu merasa merinding bulu kuduknya. Jantung mereka ikut berdetak-detak membayangkan kengerian tersebut. Kumala sempat melihat luka parah pada dada korban tadi. Ada luka bakar yang membentuk telapak tangan. Lalu, teropong Mata Dewa-nya digunakan, dan ia melihat jelas saat korban sebelum tewas. Sisca memukul dada korban tidak terlalu keras. Tapi dada itu terbakar membekas telapak tangan, lalu bolong. Dari luka itulah Sisca mengambil jantung dan memakannya tanpa rasa berdosa sedikit pun. http//zheraf.mywapblog.com "Dapatkah kau melacak ke mana perginya Sisca?" bisik Rayo. "Akan kucoba. Aku butuh tempat sepi." "Mungkin... bisa di dak atas, tempat menjemur pakaian." "Boleh." "Aku akan minta izin keluarga Hervan dulu " Setelah meminta izin, Rayo Pasca membawa Kumala ke tempat menjemur pakaian, atap rumah. Sandhi tetap ikut mendampingi majikan cantiknya. Di sana memang sepi. Tidak ada siapa pun. Tempatnya terbuka. Langit tampak berbintang cerah. Kumala Dewi duduk bersila dengan hanya beralaskan selembar koran. Rayo dan Sandhi berdiri tidak jauh dari tangga. Tidak ada yang berani bicara sedikit pun. Mereka tak ingin mengganggu konsentrasi Kumala yang sedang melakukan sebuah ritual pelacakan energi gaib. Sebab, menurut Kumala, tangan Sisca tidak mungkin dapat melubangi dada korbannya dengan mudah jika tidak memiliki energi gaib cukup tinggi. Energi gaib itu jelas bukan milik Sisca pribadi. Sebab tadi keluarga Sisca sempat menjelaskan bahwa Sisca bukan orang yang memiliki ilmu gaib atau black magic apapun. Maka disimpulkan oleh Kumala, energi gaib yang dimiliki Sisca adalah energi titipan. Tentunya bertujuan untuk melakukan tindakan sadis seperti yang sudah dilakukannya terhadap istri Hervan. Energi gaib itu akan dapat terlacak oleh radar gaibnya Kumala apabila tidak memiliki kekuatan yang bersifat memprotek energi tersebut. Dengan merentangkan kedua tangan Kumala Dewi dapat merasakan getaran gaib lain yang berada dalam radius 1 kilometer dari tempatnya berada. Dan, rupanya Sisca memang belum jauh dari rumah tersebut. Kumala merasakan adanya energi gaib cukup kuat di arah timur. Tangan kanannya bergetar lembut. Tapi mata Sandhi dan Rayo dapat meliha getaran tangan itu. Sandhi berbisik sangat pelan di telinga Rayo. "Dapat nih kayaknya..." Rayo hanya mengangguk. Ia menahan diri karena jantungnya berdebar-debar seirama getaran tangan Kumala. Ketika tangan itu bergerak semakin kuat, jantung Sandhi dan Rayo ikut deg-degan makin kuat juga. Namun beberapa saat kemudian, Kumala menghentikan meditasinya. Saat itu angin berhembus cepat. Ia berdiri memandang ke atas. Rayo dan Sandhi ikut memandang ke atas. Oh, teryata langit sudah tidak secerah tadi. Bintang sudah tidak ada. Kini gumpalan mendung hitam tampak sedang bergerak dari berbagai arah, menuju ke satu titik, yaitu tepat pada langit di atas kepala-Kumala. "Tolong bilang sama petugas polisi yang masih ada di bawah, suruh mereka bersiap-siap menyambut kedatangan Sisca. Aku sudah berhasil menariknya agar kembali datang kemari!" Sandhi dan Rayo bergegas turun. Tapi sebelum mereka turun, Kumala buru-buru berpesan pada mereka. "Kau saja, Ray...! Biar Sandhi di sini bersamaku." "Okey..." "Bilang sama mereka, jangan ada yang menye- rang Sisca. Dia masih ganas. Pengaruh gaib hitamnya besar sekali. Aku menanknya terus dari sini Kalau sudah datang, aku akan menanganinya." "Polisi?" "Polisi hanya memberi jalan dan mengamankan yang lain. Jangan ada yang menyerang atau menangkapnya. Berbahaya. Bisa timbulkorban baru nanti. Paham, ya Ray?" "Ok. Paham." Rayo segera turun, Sandhi tetap di atas walau tak tahu harus berbuat apa ia di atas. Ia hanya memperhatikan Kumala yang masih melakukan gerakangerakan ritual dengan lembut, tanpa menguras tenaga Sandhi hanya merasakan hembusan angin semakin kencang. Awan hitam di langit semakin tebal, semakin berkumpul di atas kepala mereka. Tampak pula kilatan cahaya petir di kejauhan sana. Cahaya petir yang sangat fauh di balik awan hitam itu sesekali menoreh terang, membuat jantung Sandhi seperti disayat dengan pedang. "Mengerikan suasana alam saat ini?" pikir Sandi. "Kalau aku harus sendirian di atas sini, ooh. .. ogah! Nggak rnauaku berdiri sendirian di sini. Mendingan..." "San...!" panggil Kumala, membuat Sandhi tersentak kaget dan jantiingnya seperti mau copot. "Hmm, eeh, iya... kenapa?" Kumala masih membelakangi Sandhi . "Bilangin Rayo, suruh menahan Hervan. Aku merasakan adanya ledakan emosi dalam diri Hervan yang akan dilampiaskan pada Sisca nanti. Tolong suruh Hervan tahan emosi, atau... entah bagaimana caranya, yang pentingjangan ada yang sentuh Sisca dulu sebelum aku datang menyambutnya. Cepetan, San...!" "Oh, hmm, iya, iya...!" Sandhi pun buru-buru menuruni tangga. Kakinya tergelincir karena tegang terburu-buru. Ia sempat jatuh menggelinding. Tapi segera dapat kuasai diri. Tak sampai ke bawah. Ada memar kecil di tulang keringnya. Ia bangkit kembali dan buru-buru menghampiri Rayo. Dugaan Kumala benar, ternyata saat itu Hervan sedang mempersiapkan sebilah parang yang diambilnya dari dalam kamar begitu ia mendengar dari Rayo bahwa Sisca mau datang. 0o-dw-234-o0 5 SISCA berambut lebat sepanjang punggung. Badannya sekal dan tergolong tinggi. Wajahnya cantik, tapi memiliki mata lebar bertepian hitam maskara. Dadanya tidak semontok dada Tante Firda. Ketika ia datang, rambutnyatak teratur. Masih ada sisa darah di sudut bibirnya Tapi tangan dan bagian mulut lainnya sudah bersih dari darah. Entah di mana dia mencuci tangannya. Mata yang lebar itu memandang hampa. Kosong tapi menaku'tkan. Semua orang, termasuk polisi yang menangani kasus kematian istri Hervan merasa ngeri memandang mata itu. Mereka menjauhi Sisca meskipun pihak kepolisian ada yang mengeluarkan pistol secara diam-diam, sekedar untuk beijaga-jaga. "Pembunuh biadaaaab... !!" Semua orang terkejut mendengar suara teriakan histeris yang meledak secara tiba-tiba. Teriakan histeris itu datang dari Utha, adik kandungnya istri Hervan, cowok berbadan kurus semi preman. Utha muncul dari balik tanaman perdu, menyerang Sisca dengan sebilah badik di tangan. Amukan Utha tidak mengejutkan Sisca. Tapi ekspresi wajah Sisca berubah menjadi bengis. Hujaman badik berhasil ditangkis dengan kibasan tangan Sisca. Plaaak ..! badik terlempar seketika. Utha menjerit histeris sambil sempoyongan. "Aaaaaaaaaaaahhkk...!!" "Hahh ..?!" semua orang terperangah kaget dan ngeri melihat tangan Utha hangus terbakar dari batas pergelangan sampai mendekati siku. Bagian itulah yang tadi terkena tepisan telapak tangan Sisca. Dan, melihat penyerangnya kesakitan, Sisca segera menyambar baju Utha, ia mengayunkan telapak tangannya ke dada Utha. Bapat dibayangkan, dada itu pasti akan jebol seperti yang dialami almarhumah istri Hervan. "Hentikan...!" Suara tegas itu menggema ke mana-mana. Menggetarkan setiap hati orang yang mendengarnya. Membuat gerakan Sisca berhenti secara tiba-tiba. Seperti tidak bisa bergerak untuk beberapa detik. Si pemilik suara aneh itu tak lain adalah Kumala Dewi la segera menghampiri Sisca. Menarik tangan Utha yang tidak terluka dan melemparkan tubuh kurus itu ke belakangnya, seperti melemparkan boneka kapas. Wuusss ..! Utha memang jatuh terkapar di depan kaki petugas polisi, namun dia selamat dari hantaman tangan Sisca yang sangat berbahaya itu. Kini pandangan mata Sisca tertuju pada Kumala dengan tajam dan buas. "Kau bukan Sisca!" tegas suara Kumala, tidak menggema seperti saat memerintahkan untuk berhenti tadi. "Aku Sisca...! Kau siapa, hah?!" "Kau pasti mengenaliku. Kau bukan Sisca! Pergi kau dari raganya!" "Keparat!" gumam Sisca sambil segera melakukan penyerangan. Kedua tangannya seperti hendak mencakar, mencabik-cabik tubuh Kumala. Secepatnya Kumala melayang mundur dengan kedua kaki mengambang di udara, 20 centimeter dari permukaan tanah. Suuuuut....! "Haaaarrggggghhh...!!" Sisca pun melayang seperti terbang. Kumala sedikit merendahkan badan, lalu jarinya menyentil di udara depannya. Teesss ..! Sentilan itu mengeluarkan cahaya hijau sebesar kelereng. Zlaaap...! Cahaya itu tepat mengenai ketiak Sisca. Desss! "Aaahhhkk...!!" Sisca memekik panjang lajatuh tersungkur dan tak sadarkan diri lagi. Kumala Dewi berdiri tegak kembali, napasnya menghembus panjang pertanda merasa lega. "Apakah dia...?" "Dia pingsan," sahut Kumala kepada Rayo yang tampak ragu untuk mendekati Sisca. Kumala pun menambahkan kata setelah melihat ada asap putih keluar dari punggung Sisca Ialu lenyap dalam tempo singkat. "Kekuatan gaib hitam telah lenyap dari dirinya. Dia bergerak bukan atas kehendak pribadinya. Dia ditumpangi kekuatan iblis atau sejenisnya, yang membuat dia menjadi tak sadar atas segala tindakannya, dan memiliki kekuatan maut yang mematikan." Kumala Dewi segera mengobati lengan Utha. Tidak sampai dua menit, luka yang menyakitkan dan sangat parah itu dapat pulih seperti sedia kala. Bahkan setelah itu dia minta izin kepada Hervan untuk menyusul jenazah istri Hervan ke rumah sakit. Menurutnya, jenazah tidak perlu diotopsi lagi. "Kamu ikut aku bersama Rayo. Aku butuh bertemu dengan jenazah istrimu," katanya setelah ia ingat sesuatu yang sejak tadi ia lupakan. Petugas dari kepolisian pun ada yang ikut dalam mobil BMW nya Kumala. Petugas itu adalah teman baiknya Sersan Burhan, yang sudah lama mengenal Kumala Dewi sebagai konsultan di kepolisian.Sementara itu, petugas polisi yang lain segera mengamankan Sisca untuk dibawa ke kantor poltsi, karena dikhawatirkan akan menjadi korban pelampiasan dendam bagi para keluarga istri Hervan. Sisca sendiri ketika siuman merasa bingung, mengapa ia sudah berada di rumah, dan dia tidak mengetahui apa saja yang telah terjadi di rumah tersebut. la sempat menjerit sedih ketika diberitahu istri Hervan, alias iparnya, tewas dalam keadaan mengerikan. la menyangkal keras ketika dikatakan sebagai pembunuh tunggal iparnya. Kumala Dewi dan rombongan tiba di rumah sakit. la langsung menemui dokter yang menangani otopsi mayat istri Hervan. Tentu saja jenazah belum diapa- apakan. Diam-diam tangan Kumala menyentuh mayat tersebut. Kekuatan maha gaib mengalir dalam diri Kumala, yang membuat luka parah di dada mayat menjadi merapat kembali. Dan yang paling fantastis bagi mereka adalah melihat istri Hervan hidup kembali. Segar bugar seperti tak pernah kehilangan jantung. Sandhi tidak terlalu heran melihat hal itu karena ia tahu, di dalam diri Kumala terdapat kekuatan gaib dari sebuah pusaka tua yaitu Pedang Equador. Kekuatan keramat pedang pusaka itulah yang membuat Kumala dapat menghidupkan orang mati selama kematiannya masih disebabkan oleh hal-hal yang bersifat mistik atau gaib, bukan kematian kodrat. (Baca serial Dewi Ular daiam episode: "M1STERI RONA ASMARA"). Ring tone HP terdengar, khas ring tone dari HPnya Kumala. Segera Kumala menyambut dering telepon itu karena di layar HP muncul nama Niko. "Kenapa, Nik?" "Danny... hmmm, aku... aku baru dari rumah Danny." "Ada kejadian apa di sana? Suaramu tegang sekali." "Danny makan jantung mamanya... hmm, maksudku..." "Aku tahu," jawab Kumala pelan, seperti merasa sangat prihatin. Tapi ia tidak terlalu terkejut karena sudah menduga akan mendapat kabar seperti itu. "Sekarang di mana Danny-nya? Ada di situ?" "Nggak ada. Dia... dia entah kemana... adiknya yang perempuan juga tewas. Jantungnya dimakan. Ooh, mengerikan sekali, Dewi..." "Aku akan ke situ sama Rayo. Di mana alamatnya, atau... kamu bicara dulu sama Rayo, aku mau bicara dengan dokter dan petugas polisi yang ada di sini." Kumala menyerahkan HP-nya kepada Rayo. "Niko punya kabar serupa. Cari tahu di mana alamat korban yang jelas, kita akan ke sana. Aku mau bicara dulu dengan dokter Wika." Sandhi ikut terperanjat mendengar kabar bahwa teman Niko baru saja membunuh ibu dan adiknya, lalu kedua korban jantungnya dimakan. Maka, segera saja ia simpulkan bahwa orang yang pulang dari pondok Umat Pilihan pasti akan membunuh dan memakan jantung orang lain. "Okey, kita langsung ke rumah Danny, temui Niko dulu!" kata Kumala dengan langkah tergesa-gesa memasuki mobilnya, Tapi sebentar kemudian dia keluar lagi. Pindah ke mobilnya Rayo. "Aku ikut mobilmu saja." "Kenapa?" "Emang nggak boleh aku kangen kamu," jawabnya seraya menahan senyum. Berlagak ketus. Tapi hatinya terbius. Ya, terbius oleh tawa lirih Rayo yang terasa menghangat di hatinya. Ciuman kecil diberikan Rayo di pipi Kumala. Malam bagaikan berbunga indah Semerbak wangi cinta membungkus jiwa-jiwa mereka . Sayang sekali kemesraan yang begitu romantis cukup hanya sesaat saja. Kumala tidak mau larut dalam kehangatan cinta sementara di sisi lain masih banyak manusia yang harus diselamatkan. Oleh karena itulah, Kumala segera kembali fokus pada persoalan yang sedang dihadapi, yang menyangkut keselamatan umat manusia dibumi. "Kalau Sisca begitu, Danny begitu, berarti Ringgo pun mengalami hal yang sama." "Siapa Ringgo itu?" Secara singkat Kumala menceritakan kehadiran Tante Firda dan persoalan yang dihadapi janda kaya itu. Ia menaruh curiga pada keselamatan Tante Firda. "Jangan-jangan Tante Firda juga dimakan jantungnya oleh Ringgo?" gumam Kumala bernada cemas. "Hubungi saja teleponnya kalau kau punya," saran Rayo, dan Kumala mengikuti saran kekasihnya. Ia menghubungi nomor telepon rumah Tante Firda. Sampai lama berdering tidak ada yang menyambut. Ia juga menghubungi nomor HP-nya janda kaya itu. Tapi juga tidak ada yang menerima teleponnya. Kecurigaan semakin bertambah besar. Dewi Ular segera melakukan hubungan gaib dengan asistennya, yaitu Buron. Dalam posisi duduk bersandar santai, ia bicara pelan, dan Rayo mengetahui pembicaraannya itu bukan ditujukan padanya. Rayo sudah terlalu sering melihat Kumala melakukan hubungan gaib dengan Buron sehingga tidak merasa aneh lagi. Justru ikut membantu dengan cara membungkam diri, tidak ikut bicara sepatah kata pun. "Kamu tahu rumah Tante Firda, kan?" Terdengar suara gaib Buron di telinga batin Kumala. "Nggak tahu." Rayo tidak mendengar suara Buron. "Cari energi gaib besar di komplek perumahan Griya Cendana. Kalau kau temukan energi besar di sana,dekati dia. Itu energi gaib hitamnya Ringgo. Kemungkinan besar Tante Firda jadi korbannya." "Baik. Aku akan ke sana." "Di mana pun kau temukan energi gaib yang dapat sampai menusuk ulu hatimu, itulah energi gaib sesat dari Opa. Temui orang itu dan hancurkan energi gaibnya, tapi selamatkan orangnya" "Akan kucoba!" tegas Buron, selalu siap menerima perintah dan tugas berbahaya seperti itu. "Aku melihat kelemahan mereka ada di ketiak. Hantam ketiaknya." "Ketiak kanan atau kiri?" "Salah satu kau hantam, lumpuh semuanya " "Baik. Aku paham, Kumala." "Berangkat sekarang juga!" "Aku berangkat!" Napas panjang dihembuskan, pertanda Kumala telah selesai melakukan hubungan gaib dengan asistennya. Jika sudah begitu barulah Rayo berani bicara atau bertanya pada kekasihnya. "Untung kamu bisa cepat mengetahui titik kelemahan Sisca tadi. Bagaimana cara mengetahuinya?" "Dengan mata batin. Aku melihat cahaya merah kecil di ketiaknya. Biasanya bayangan cahaya seperti itu adalah titik kelemahan dari kekuatan gaib yang ada pada diri orang tersebut." "Lalu...," kata-kata Rayo terputus lantaran HP Kumala berdering. "Apa, Nik?" Oh, rupanya Niko yang menelepon. Suaranya masih gugup seperti saat meneleponnya tadi. "Aku dapat kabar lain. Saudaranya temanku, mengalami hal yang sama. Orang itu juga baru saja membunuh pelayannya, dimakan jantungnya. Dia juga pengikut sekte Umat Pilihan, sama dengan Danny" "Okey, kita bicarakan nanti. Nggak sampai lima menit lagi aku tiba di alamat rumah Danny." Sekali lagi Kumala menghembuskan napas panjang karena merasa sangat prihatin dan sedih atas kejadian yang dialami oleh para korban. Ia juga sedih lantaran pelakunya tidak menyadari apa yang telah diperbuat olehnya. Maka, terdengar suara Kumala menggeram jengkel sambil matanya menerawang jauh ke depan. "Kalau benar semua ini perbuatan paman Dewa Chonggunata, aku akan menuntut pihak Kahyangan agar membuang Dewa Chong keluar dari Kahyangan. Memalukan sekali!" Bidadari cantik jelita itu memendam kejengkelan. Maka, ketika ia tiba di TKP atas kematian mamanya Danny, ia langsung mengerahkan kesaktiannya, mengundang balik Danny seperti yang dilakukan kepada Sisca. Dan, ketika pemuda itu datang dengan sisa darah masih melumuri sebagian tangannya, Kumala langsung menghantam. Melumpuhkan tanpa ampun lagi. Ia juga menghidupkan kembali mayat mama dan adiknya Danny. Malam itu kota Jakarta menjadi heboh. Di mana-mana terjadi kasus pembunuhan yang memakan jantung korban. Rupanya para pengikut Opa menyebar ke manamana, sehingga pihak kepolisian pun dibuat kalang kabut dengan munculnya kasus seperti itu secara serempak. Mau tak mau Kumala Dewi dan Buron bekeija keras untuk menghentikan teror yang mulai meresahkan masyarakat ibukota. Tapi anehnya, Buron menemukan Ringgo dan Tante Firda dalam keadaan baik-baik saja. Menurut pengakuan Buron kepada Kumala yang menyusul ke rumah Tante Firda, ketika Buron berhadapan dengan Ringgo, ia memang melihat dan merasakan getaran energi gaib berbahaya pada diri Ringgo. Buron sempat berkeiahi dengan Ringgo, dan berhasil melumpuhkan energi gaib itu dengan pukulan bercahaya di bawah ketiak Ringgo. Ringgo pingsan sesaat. Tante Firda nyaris mengamuk pada Buron Tapi setelah Buron menjelaskan tindakannya atas perintah Kumala, kemarahan Tante Firda pun reda. Ketika Kumala tiba di rumah Tante Firda, keadaan Ringgo sudah siuman. Setiap kali orang yang habis kehilangan energi gaibnya, pingsan, sadar, dan merasa linglung sesaat. Sepertinya ia tidak menyadari apa yang ia lakukan selama kembali ke rumah. Tapi mereka masih ingat apa saja yang mereka lakukan di pondoknya Opa. Begitu pula dengan Ringgo, ia dapat menjelaskan banyak hal yang diingatnya tentang suasana di pondok . "Kamu ingat, aku pemah berada di antara kalian di pondok?" tanya Buron yang berdiri di samping Kumala. "O, ya... sekarang aku baru ingat. Kamu yang berkelahi melawan Opa, dan Opa menjadi harimau, lalu kamu babak belur, ooh... ya, ya, sekarang aku jadi ingat betul tentang kamu." "Babak belurnya nggak usah disebut," gumam Buron sedikit bersungut-sungut. "Ringgo," kata Kumala dengan suara lembutnya. "... boleh aku tahu, kenapa kamu tidak memakan jantung Tante Firda seperti Sisca memakan jantung iparnya, atau Danny yang memakan jantung mama serta adiknya?" "Pesan Opa memang begitu." "Apa pesannya?" "Untuk menjadi Umat Pilihan yang dapat selamat dari datangnya kiamat, dan yang kelak akan menguasai dunia baru, masing-masing dari kami harus memakan sepuluh jantung manusia. Jantung yang dipilih adalah jantung manusia sesat..." "Dalam pengertian bagaimana yang dimaksud manusia sesat itu?" "Manusia sesat adalah manusia yang menolak saat diajak untuk bergabung dengan kelompok kami, dan merendahkan martabat serta kesucian Umat Pilihan. Orang seperti itulah yang harus dimakan jantungnya. Dirobek dadanya, dan diambil jantungnya." "Darimana kalian bisa merobek dada manusia dengan mudah?" "Nggak tahu. Tapi kami diberi kekuatan oleh Opa, yang menurutnya disebut kekuatan Ajidewa." Buron menatap Kumala Dewi. "Aku seperti pernah dengar kekuatan Ajidewa itu." "Kesaktian milik paman Chonggunata," kata Kumala. Kemudian ia kembali bertanya kepada Ringgo. "Apakah semua pengikut Opa dibekali Ajidewa?" "Ya. Semuanya. Opa berubah menjadi seekor harimau, yang pemah bertarung dengan dia...," Ringgo menuding Buron."... lalu masing-masing tangan kami dijilat oleh lidah harimau itu. Katanya, dengan cara begitu maka kami sudah dibekali kekuatan Ajidewa yang dapat untuk merogoh jantung manusia sesat dengan mudah." "Bukan itu saja," sahut Kumala. "Tapi jiwa kalian juga telah dirasuki oleh jiwa jahat, dan kesadaran kalian telah dibekukan. Air liur harimau membuat seluruh gerak dan kesadaran kalian mudah dikendalikan dari jauh. Tentu saja oleh Opa sebagai pengendalinya." "Kekuatan air liur itukah yang bersumber di ketiak?" tanya Buron kepada Kumala, dan Kumala hanya menganggukkan kepala. "Lalu, kenapa kau tidak memakan jantung Tante Firda?" "Tante bersedia menjadi pengikut Umat Pilihan. Tante menerima tawaranku untuk ikut ke pondok dan menjadi anggota kami. Jadi, aku tidak boleh memakan jantungnya. Justru harus memberi perlindungan, serta melayani segala keinginan Tante Firda. Kami diwajibkan menjadikan orang-orang seperti Tante sebagai saudara, bilamana perlu diperlakukan sebagai majikan kami. Maka, ketika Tante menyatakan kesediaannya ikut denganku ke pondok, aku harus melayani semua keinginan Tante." "Pantas ditelepon tidak mau angkat, rupanya mereka sedang asyik bercinta habis-habisan," pikir Kumala. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil dan tipis sekali. Tante Firda sendiri berkata, "Pada dasarnya aku tidak ingin kehilangan Ringgo lagi. Karena itulah, apa yang ia inginkan dariku aku penuhi. Dia tawarkan aku untuk ikut menjadi anggota Umat Pilihan, aku bersedia asal aku jangan kehilangan dia. Aku harus merebut dia dan ancaman cinta Sisca." "Ya, saya memahami kondisi Tante saat ini," ujar Kumala pelan sambil manggut-manggut kecil. "Pelayanku juga ditawari untuk ikut menjadi anggota Umat Pilihan oleh Ringgo, dia iya-iya saja. Nggak menolak." "Maka dari itu saya nggak boleh menyakiti pelayan Tante," timpal Ringgo dengan polosnya. "Berapa jumlah pengikut Opa sebenarnya?" kali ini pertanyaan datang dari mulut Rayo yang sejak tadi menjadi pendengar yang baik. "Seingat saya... ada 38 orang, termasuk tiga di antaranya remaja belasan tahun: Wawan, Johan, dan Tika. Mereka bertiga masih tergolong ABG." "Kenapa bisa ikut bergabung dalam kelompok itu?' "Mereka mengikuti orang tua, hmm... setahuku kalau yang bernama Tika, dia ikut karena ajakan kakaknya; Yesnia." Kumala Dewi segera memandang Buron. "Apakah tadi kau temukan tiga remaja itu?" Buron menggeleng. "Yang berhasil kulumpuhkan tadi sepertinya... dewasa semua. Beberapa di antaranya sudah cukup umur" "Kalau begitu ketiga remaja itu juga berbahaya dan harus segera dilumpuhkan sebelum menelan 30 korban " Buron manggut-manggut. "Berangkat sekarang, dan carilah mereka. Beritahu aku di mana posisi para korban." "Baik," jawab Buron, kemudian tanpa malu-malu lagi, meski pun di depan Tante Firda dan Ringgo, ia berubah menjadi sinar kuning, lalu melesat menembus langitlangit ruang tamu. Tante Firda agak terkejut dan tampak takut. Tapi Ringgo tidak, karena Ringgo pernah melihat hal seperti itu ketika Buron bertarung dengan harimau jelmaan Opa. Malam semakin larut. Kumala tidak mau menunda masalah itu. Ia harus segera menuntaskan. Ancaman maut yang dihadapi manusia itu bukan masalah yang bisa ditunda-tunda. "Ringgo," kata Kumala lagi,"... sebenarnya kau sangat beruntung, karena tanganmu tidak sempat berlumuran darah Tante Firda Paling tidak, rasa penyesalan tidak seperti yang dialami oleh Sisca dan yang lainnya. Tapi apakah sekarang kamu masih punya niat untuk kembali ke pondok Umat Pilihan?" Ringgo menggelengkan kepala, lalu menarik napas dalam-dalam. "Sekarang aku sudah menyadari kebodohanku. Aku juga menyesal, mengapa aku bisa terpedaya dan sangat mengagungkan Opa, waktu itu. Doktrin yang diajarkan sangat kuat dan cepat merasuki jiwa kami. Cepat membuat diriku meyakini semua yang dikatakannya." "Ia bukan hanya sekedar menycbarkan doktrin pada kalian, tapi juga memiliki pengaruh kuat, menyebarkan pengaruh semacam sihir atau hipnotis kepada kalian. Bisa melalui pandangan matanya, bisa lewat getaran gelombang suaranya." "Memang matanya sungguh menakutkan kalau dipikirpikir. Setiap orang beradu pandang dengannya, terasa jantungnya dicengkeram Aku sendiri kalau terlalu lama memandang matanya, terasa sekujur tubuhku menjadi lemas. Tak memiliki daya untuk berbuat apapun selain patuh padanya." Rayo berbisik pada Kumala, "Apakah pamanmu memiliki kekuatan semacam itu?" "Untuk hal ini aku nggak tahu." Tante Firda berkata kepada Ringgo, "Sebaiknya kamu jangan kembali lagi ke sana deh, Ring. Aku takut kalau kamu menjadi sesat." "Seandairtya aku harus kembali ke pondok pun aku nggak tahu jalannya, Tante." "O, jadi kamu nggak ingat lagi di mana pondok itu berada?" tanya Kumala Dewi. Ringgo menggeleng lugu. "Aku nggak ingat. Tapi kalau rumah pertama kami berkumpul, aku masih ingat. Rumah berdinding abu-abu itu ada di daerah barat. Daerah rawan banjir. Tapi dari situ kami dipindahkan ke pondok." "Secara gaib pemindahannya?" " Ya. Menggunakaacahaya menyilaukan." "Ya, ya... aku sudah pernah dengar ceritanya dari Buron. Lalu, pondok itu sendiri di mana, kamu nggak ingat?" "Nggak tahu jalannya." "Apakah benar set el ah di pondok kalian segera dipindahkan, di bawa ke Kahyangan?" "Hmmmm, menurut Opa sih begitu. Kami dipindahkan ke Kahyangan untuk menerima kekuatan Ajidewa. Dan, lagi-lagi kami dibawa dengan kendaraan berupa cahaya menyilaukan. Cahaya itu muncul dari dalam tanah, lalu... tahu-tahu kami sudah berada di tempat lain, bukan pondok berkayu jati." "Seperti apa tempat itu?" "Indah sekali.. Seperti sebuah istana berlantai tiga. Memiliki taman yang teduh, indah, bunga-bunga semerbak mewangi, tapi semuanya serba berwarna jingga." "Serbajingga?" gumam Tante Firda. "Iya. Pohon, rumput, batu, semuanya serba jingga. Hanya beberapa bunga kecil yang punya warna lain. Ranting dan dahan pohon pun warnanya jingga. Bagus sekali." "Itu bukan Kahyangan!" potong Kumala. Rayo menatapnya, "Bukan Kahyangan? Lalu...?" "Alam lain, entah kekuasaan siapa, tapi yang jelas bukan alam di Kahyangan Warna jingga tidak menjadi dominan di Kahyangan." "Jadi, maksudmu... Opa itu bukan pamanmu?" "Seandainya dia pamanku, memang bisa saja dia membawa mereka ke alam lain. Yang jelas bukan Kahyangan." "Lalu, mengapa kami dibawa ke pondok dari rumah pertama? Mengapa tidak langsung dibawa ke alam itu saja?" tanya Ringgo yang merasa janggal dengan proses pemindahan tersebut. "Barangkali mulanya Opa ingin mengukuhkan kalian di pondok, tapi karena pondok kemasukan penyusup, yaitu Buron, dia tidak mau aktivitas kalian terganggu oleh kedatangan penyusup-penyusup berikutnya, karena itulah ia pindahkan kalian ke alam lain. Yaitu, suatu tempat yang tidak mudah dijangkau oleh manusia biasa." "Kamu dan Buron sempat mencarinya, ya?" "Ya, dan kami tidak menemukan jejak mereka, Ray. Tempat itu jelas tempat yang tersembunyi dari jangkauan kekuatan gaib siapa pun, kecuali kekuatan gaibnya Opa dan mungkin para sekutunya." Tiba-tiba Ringgo bicara lagi dari masa bungkamnya sekitar hampir satu menit itu. "Tapi seingatku Opa memang mengaku sebagai Dewa Chong, penghuni Kahyangan, yang ditugaskan menyelamatkan kami sebagai Umat Pilihan " "Apakah kau pernah melihat sosok penampilannya yang asli, yang bukan sebagai Opa maupun bukan sebagai harimau?" "O, ya... pernah. Yaitu ketika kami berada di alam serba jingga." "Seperti apa bayangandari penampilan sosoknya?" "Jenggot dan kumisnya hitam tapi panjang selewat dada. Ia mengenakan topi, semacam kopia .. memiliki untaian manik-manik indah. Seperti memiliki sepasang telinga panjang pada topinya..." "Hmmm,terus...?" "Dia memakai jubah merah panjang, pada jubahnya ada hiasan seperti bordir gambar naga, hiasan itu di tengah jubah. Wajahnya dingin dan bersih." Kumala diam termenung beberapa saat. Ketika Ringgo selesai menceritakan ciri-ciri penampilan Opa yang sebenarnya, Kumala pun mendapat bisikan dari Rayo. "Kau mengenali ciri penampilan seperti itu?" "Ya. Itu ciri penampilan Paman Dewa Chonggunata. Aku pernah jumpa beliau dulu, waktu di perbatasan Kahyangan. Tapi... apa sih sebenarnya yang membuat paman Chong jadi seganas itu kepada manusia?" Tentunya bukan hanya Dewi Ular, tapi Rayo pun ingin tahu sebabnya. 0o-dw-234-o0 6 PUKUL 2 kurang, malam semakin sunyi. Kumala Dewi masih menunggu kabar dari Buron. la dan Rayo masih di rumah Tante Firda. Sandhi juga ikut ada di sana. Niko di rumah Hervan, sesekali ia menelepon Kumala menyampaikan kabar baru. Ketika Kumala ingin pamit pulang, akan menunggu laporan dari Buron di rumahnya saja, tiba-tiba HP-nya berdering. "Kumala, ini aku..." "Audy...? Kau pakai nomor baru?" "Ya. Nomor khusus untuk kamu " "Ke mana saja kau, dari kemarin kuhubungi mailbox terus?" "Aku baru datang dari Cirebon. Baru saja sampai di apartemen. Temyata di sini ada kejadian mengerikan, Kumala" "O, ya? Kejadian apa?" "Salah satu dari Satpam penjaga apartemenku tewas di tempat parkir. Dadanya bolong. Jantungnya hilang." "Ooh...?!" keluh Kumala dengan nada sedih. "Pasti itu perbuatan salah satu dari ketiga remaja itu " "Hey, rupanya kamu sudah tahu, ya? Memang menurut keterangan Satpam yang lainnya, tadi ada anak ABG nyasar kemari. Anak gadis. Oleh si korban ia dibawa ke tempat parkir. Entah itu anak menanyakan tentang apa. Tahu-tahu, anak itu pergi tak jelas ke mana arahnya. Satpam yang satunya menemukan korban setengah jam kemudian. Keadaan korban sangat mengerikan." "Audy... lacak energi gaib yang ada di sekitarmu. Pasti anak itu belum jauh. Tarik kembali dia dengan kekuatanmu. Hantam di bagian ketiaknya Dia penganut aliran sesat yang sekarang sedang mencari korban, harus memakan sepuluh jantung orang yang menolak menjadi anggota sekte tersebut." "Oh...?! Rupanya ada kasus yang cukup berat,ya?" "Lakukan saja. Aku akan menuju ke apartemenmu. Jangan pindahkan mayat korban. Aku akan mencoba untuk menolongnya." Sebagai teman dekat, Kumala tahu persis kekuatan Audy Dulu, dia bermusuhan dengan Audy, karena Audy sebenarnya jelmaan dari mahluk alam gaib, yang bernama Nyimas Kembangdara. Dia termasuk pengawal kepercayaannya Dewa Kegelapan. Tapi karena merasa dikhianati oleh pihak Dewa Kegelapan, dan Kumala berhasil melumpuhkannya, maka kini ia berpihak pada Kumala dan hidup sebagai manusia biasa, cantik, sexy serta doyan bercinta, dengan nama Audy, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "KUPU-KUPU 1BL1S"). Dalam mendapatkan pusaka Pedang Equador, Audy juga turut berperan membantu Kumala. Dia bukan hanya memiliki kesaktian tinggi, tapi juga memiliki akal dan kecerdasan yang cukup. Dia mahluk yang cerdik dan pemberani. Remaja ABG yang berhasil menyantap jantung Satpam itu dapat dipastikan dialah yang disebut Ringgo bernama Tika. Karena hanya dialah remaja putri yang ikut dalam kelompok Umat Pilihan. Masalahnya, kenapa Buron tidak berhasil menemukan anak itu, dan sampai sekarang belum ada kabarnya? Apakah dua remaja lainnya sudah berhasil dilumpuhkan oleh Buron di suatu tempat? "Buron... di mana kamu?" Kumala melakukan komunikasi gaib di saat ia meluncur ke apartemennya Audy bersama Rayo. la berada dalam mobil Rayo, sementara Sandhi mengikuti dari belakang dengan BMWnya. Yang ada di dalam mobil Sandhi bukan hanya Ringgo, tapi Tante Firda ikut juga. Ringgo ikut karena ingin membantu Kumala meyakinkan orang-orang yang butuh keterangan murni tentang Opa. Ringgo juga bersedia memberi penjelasan kepada Kumala sewaktuwaktu ada yang perlu ditanyakan padanya. "Buroooon...! Heey, kenapa nggak nyahut!" Tidak ada kabar, tidak ada jawaban, tidak ada tandatanda yang pasti tentang keberadaan Buron. Hal ini membuat Kumala menjadi cemas. Tapi kecemasannya harus ditunda karena ia sudah dekat dengan apartemennya Audy Di sana orang banyak sudah berkumpul. Seorang polisi berpakaian preman yang sudah kenal akrab dengannya juga sudah menunggu. Sersan Burhan. Ganteng, gagah dan masih lajang. "Selamat malam, Bang," sapa Kumala pelan, agar yang lain tak mendengar kalau dia memanggil Sersan Burhan dengan sebutan Bang. Dalam keadaan formil, Kumala tetap memanggil Sersan Burhan dengan sebutan Pak, atau Bapak. Karena, memang dengan cara begitulah Kumala menghargai dan menghormati seorang sahabat di mana saja ia berada. "Mayat korban masih di tempat. Audy melarang kami untuk membawanya pergi," kata Sersan Burhan sambil mengiringi langkah Kumala dari mobil sambil menuju tempat di mana mayat Satpam itu berada. "Di mana Audy sekarang?" "Di balkon kamarnya, lihat itu...!" Sersan Burhan menuding ke atas, ke kamar Audy yang di lantai 8. Tampak Audy sedang berdiri dengan kedua tangan dilipat di dada. Ia diam saja, memandang kearaah jauh. Ia tak hiraukan kesibukan orang-orang yang ada di bawah balkonnya. "Hm, rupanya iabelum berhasil menarik kembai.' gadis ABG yang memakan jantung korban itu" kata Kumala dalam hati. Lalu, ia mengirimkan suara gaib kepada Audy. "Tarik keulu hatimu energinva, kunci di situ!" Suara batin itu didengar oleh Audy Terbukti gadis cantik dan sangat sexy itu tampak menganggukkan kepala. Pendek. Tapi jelast erlihat oleh Kumala: Lalu, saran itu ia lalukan dengan tetap tanpa suara. Hanya saja, kini salah satu tangan Audy diangkat ke atas. Seperti sedang meradar suatu kekuatan gaib yang ada di tempat jauh. Hal itu ia lakukan hingga beberapa saat lamanya. Tetap tidak mempedulikan kesibukan orang-orang yang menangani mayat Satpam di tempat parkir, bawah balkonnya itu. "Bang," bisik Kumala. "Aku minta bantuan, singkirkan orang-orang ini supaya nggak mengerumuni tempat kita. Aku nggak mau mereka tahu apa yang kulakukan pada mayat itu nanti. Aku nggak mau ada kesan arogan atau pamer kekuatan." "Ya, ya.. aku ngerti," Sersan Burhan menganggukkan kepala. Lalu, dengan dibantu anak buahnya, ia menyuruh orang-orang menyingkir jauh dari tempat tersebut. Kumala tidak ingin dilihat orang saat ia menghidupkan mayat Satpam. Karena, ia takut dinilai sombong dan pamer kesaktian di depan orang banyak. Dengan sentuhan lembut, Satpam itu berhasil dihidupkan kembali Jantungnya yang hilang dapat kembali lagi. Lukanya merapat dan lenyap. Ia hanya bisa terbengong-bengong bingung, seakan tak tahu apa yang sudah terjadi atas dirinya. "Aku berhasil..." Kumala mendengar suara Audy bicara lewat jalur gaib. "Bagus. Aku akan menyambutnya dari bawah." "Dia sedang menuju kemari. Berlari-lari." Kumala segera bicara dengan Sersan Burhan. "Bang, sekali lagi aku minta bantuan Abang... tolong amankan tempat ini, terutama pintu masuk kemari. Tapi jangan ada yang menyentuh dia. Dia berbahaya, Bang. Dia dapat membunuh dengan tangan kosong . ." "Okey, okey... akan kuperintahkan anak buahku untuk mengamankan pintu gerbang itu..." Tak berapa lama seorang gadis remaja bercelana pendek dengan blus ketat muncul. Rambutnya pendek, badannya agak gemuk. Tapi terkesan kekar. Mungkin memang hobi berolahraga. Gadis itu adalah Tika, yang tangannya masih berlumuran darah, narnun sudah ada yang terhapus, sebagian tampak mengering di tangan. "Itu dia anaknya! Ya, itu pembunuhnya!" seru Satpam teman korban. Ia mencabut pentungnya. Tapi gerakannya segera ditahan oleh anak buah Sersan Burhan Satpam itu ditenangkan walau naluri balas dendam demi membela teman satu korp masih menggebu-gebu "Hhhrrrrrkkh...!" Tika menyeringai dengan mengeluarkan suara mengerang, menyeramkan. Semua orang menjadi merinding dan mundur menjauhi tempat mereka. Tika tampak panik melihat orang banyak sudah berkumpul di situ. Nalurinya menangkap adanya bahaya, sehingga ia mulai menyeringai dan siap-siap menghadapi bahaya tersebut. "Tenang, Tika... tenang. .," bujuk Kumala yang melangkah menghampirinya tanpa rasa takut sedikit pun. "Siapa yang mengundangku datang kemari, hahrr...?!" "Kami cuma ingin kau pergi dari raga Tika." "Aku Tika!" "Bukan. Kau bukan Tika! Kau pecundangnya Opa!" "Haaaggrrrhh...!!"Tiba-tiba Tika melompat seperti harimau ingin menerkam mangsanya. Kumala Dewi sudah siap, tapi ternyata ada yang lebih siap lagi. Seberkas sinar merah berbentuk seperti mata pisau melesat dari atas. Claaap...! Langsung mengenai ketiak Tika, Deess...! "Aaaaahhhkkk ..!!" Tika memekik lengking dan panjang. Ia jatuh tersungkur. Menyedihkan sekali. Ia mengalami kejang sesaat, seperti halnya Sisca, kemudian terkulai lemah tanpa daya lagi. Ia pingsan. Asap tipis mengepul dari punggung Tika. Lenyap dalam sekejap. "Tepat sekali tindakanmu," ujar Kumala pelan, sangat pelan. Tapi matanya melirik keatas Balkon. Pasti katakata itu ditujukan untuk Audy. Karena, sinar merah tadi datang dari tangan Audy . Wanita berdada montok itu lenyap dari balkon. Sedetik kemudian sudah berada di belakang Kumala tanpa disadari oleh orang-orang yang sibuk dan heboh sendiri terhadap apa yang dilihatnya tadi. Kumala tidak terkejut karena ia sudah menduga Audy akan menyusulnya turun dan menghampirinya. "Kenapa anak itu memiliki Ajidewa ? Bukankah itu milik pamanmu Dewa Chonggunata?" bisik Audy. Kemudian ia mengikuti langkah Kumala. Mereka berada di tempat yang sepi. Tidak teiganggu oleh suasana heboh di seberang sana. Tempat sepi itu adalah pinggiran lapangan tenis yang bercahaya remangremang. "Kau mengenali energi yang ada pada diri anak itu, rupanya?" "Dari caranya menyimpan energi di ketiak, aku sangat mengenali kesaktian itu sebagai kesaktian Ajidewa, milik pamanmu. Aku pernah berhadapan dengan beliau, tapi kalah. Aku bukan tandingannya." "Pantas kau mengenalinya." "Sebenarnya apa sih yang teijadi di Jakarta ini?" "Apakah selama kamu di Cirebon kamu nggak lihat ada awan jingga yang mengandung racun tinggi?" "Ya, aku melihatnya. Tapi bukankah sudah ada yang melumpuhkan racun itu? Kau pasti yang melumpuhkan. Iya, kan?" "Dibantu oleh Argon " "O, dewa romantis itu? Terus?" "Awan itu menjadi modal isu datangnya kiamat dalam waktu dekat ini. Isu itu yang membuat seorang lelaki tua yang akrab dipanggil Opa merekrut anggota untuk sekte sesatnya yang bemama Umat Pilihan." Kumala Dewi menjelaskan duduk perkara sebenarnya kepada Audy. Agaknya selama beberapa hari ini Audy sibuk bercinta dengan pria asal Cirebon, sehingga ia tidak mengikuti perkembangan kabar tentang kehidupan mistis di ibukota. Oleh karenanya, ia sangat antusias mendengarkan penjelasan dari Kumala, seperti seorang murid menyimak ajaran dari gurunya. "Dilihat dari ciri-ciri kesaktiannya, juga penampilan yang diceritakan oleh.. siapa tadi? Ringgo?" "Ya, Ringgo." "Nah, dilihat dari keterangan itu semua, memang aku sependapat bahwa dia adalah Dewa Chong, penguasa binatang buas. Tetapi setahuku Dewa Chonggu nggak jahat kok. Khususnya untuk manusia dan sesama penghuni Kahyangan, dia nggak sejahat itu." "Aku juga berpendapat begitu. Tapi bukti dan keterangan para saksi mengarah ke situ, Audy." "Apakah pamanmu merasa dikecewakan oleh pihak Kahyangan, sehingga ia bikin ulah kayak gitu? Menyebarkan isu kiamat dan sebagainya? Mungkinkah demikian?" "Kemungkinan selalu saja bisa terjadi. Tapi naluriku mengatakan, tindakan yang dilakukan Opa itu bukan tindakan kesatriadari Kahyangan. Cenderung naluri iblis yang berbuat demikian." "Yaaah, benar juga sih. Tapi..." "Sekarang aku mau tanya ama kamu, selain paman Dewa Chonggu, mungkinkah ada pihak Iain yang memiliki kesaktian seperti itu?" Audy diam sesaat. Berpikir keras. Tiba-tiba wajahnya ceria. "Nah, iya... aku ingat, ada pihak lain yang selalu iri dengan kesaktian pamanmu." "Siapa?" "Adik tiri Dewa Chonggu... Dewa Changka. Dalam sejarahnya, Dewa Changka selalu berselisih dengan Dewa Chonggu sejak kecil. Ia merasa iri dan selalu ingin lebih unggul dari Dewa Chonggu. Akibatnya, menjelang dewasa Dewa Changka diusir dari Kahyangan karena melakukan kesalahan besar, dan namanya dicoret dari daftar para dewa penghuni Kahyangan. Changka akhirnya bergabung dengan Dewa Kegelapan, si Lokapura. Dia menjadi penasihat. Salah satu dari sekian banyak penasihat istananya Lokapura adalah Changka. Aku juga pernah berselisih dengannya sewaktu aku menjadi pelindung para selirnya Lokapura. Ilmunya tinggi, aku sempat dibuatnya babak belur kala itu. Tapi aku belum kalah. Cuma, segera dilerai oleh Lokapura sendiri." "Hmmm... kurasa dialah yang mengaku-aku sebagai Dewa Chonggu." Kumala Dewi manggut-manggut sambil menggumam. "Pasti dia datang ke bumi membawa misi dari Lokapura tuh." "Ya, kurasa begitu. Dia akan mengacaukan kehidupan manusia, merekurt manusia agar mau jadi pengikut Lokapura, membunuh yang menolak menjadi pengikutnya dan... ya, ya... aku ingat pesan Argon, bahwa Lokapura mengirim utusan ke bumi, tapi tidak diketahui dengan jelas, siapa yang diutus. Kurasa Dewa Changka itulah utusan Lokapura." "Utusan di awal kedatangan kiamat, maksudnya. Sebab, mereka mengistilahkan akibat terjadinya Perang Maha gaib nanti adalah kiamat total bagi umat manusia dibumi" "Kalau begitu, aku harus..." Kata-kata Kumala terhenti akibat suara menderu dari kejauhan. Suara itu seperti deru suara hujan dari arah timur. Tapi makin lama makin jelas dan menyerupai suara banjir besar. Bergemuruh. Bahkan bumi mulai bergetar, seakan ada gempa yang melanda alam sekitamya. Angin pun berhembus makin lama semakin kuat. Bulu lftjduk setiap orang jadi merinding. Mereka yang berkumpul di pintu gerbang Apartemen mulai bergegas masuk ke lobby. Mereka dicekam perasaan takut. Tika yang sudah siuman dibimbing Sersan Burhan ke lobby juga. "Lala...!" seru Rayo mencemaskan kekasihnya. Ia melambaikan tangan menyuruh Kumala masuk ke lobby. Tapi Kumala dan Audy tetap tenang di tempat. Mereka memandang ke sana-sini, terutama ke atas. Menyadari hal itu Rayo segera masuk ke lobby. Agaknya-Kumala dan Audy sedang mencari sumber datangnya suara gemuruh menyeramkan itu. Sersan Burhan dan yang lainnya juga tidak berani menyuruh Kumala masuk ke lobby, karena pada umumnya mereka tahu kedua wanita cantik itu saiing memiliki kesaktian untuk menghadapi bahaya apapun. Pagar lapangan tenis bergetar, seperti ada yang mengguncang-guncangnya dengan kuat. Suaranya gaduh sekali. "Ada yang mau datang kayaknya," gumam Kumala. "Aku merasakan hawa panas dari timur " bisik Audy. "Mungkin...," Kumala berhenli bicara, karena tiba-tiba ia melihat seberkas sinar merah kebiru-bir lan. Sinar itu meluncur jatuh di tengah lapangan tenis Buuummm...! Seluruh tempat terguncang. Seperti ada benda besar jatuh di tengah lapangan tenis. Satpam yang bertugas malam itu, yang bukan menjadi korban tadi, segera menyalakan Iampu di lapangan tenis, karena dia ingin tahu benda apa yang jatuh di sana hingga menggetarkan seluruh bangunan. "Lihat, orangmu itu...!" sentak Audy. Kumala juga terkejut melihat Buron terkapar dalam keadaan sekujur tubuhnya nyaris hancur. Yang lebih mengerikan lagi, Buron bukan berswujud manusia, tapi menggunakan wujud aslinya, yaitu Jin Layon. Ukuran badannya sangat besar, tinggi 7 meter dan sangat mengerikan. Namun tubuh besar itu sekarang terkapar nyaris tanpa gerakan sama sekali. Ia tak ubahnya seperti seonggok sampah yang menjijikkan, karena lukanya teramat banyak. Tak jauh dari Jin Layon tampak seraut wajah dingin beijenggot panjang dan berkumis panjang juga, mengenakanjubah merah. Ia berdiri di udara lepas tanpa alas berpijak. "Changka...!!" seru Audy dengan geram kemurkaannya. Ia menembus pagar lapangan tenis yang tcrbuat dari anyaman besi itu. Kumala Dewi pun menembus pagar tersebut seperti asap. Tak mengakibatkan getaran